WAHYUDI ANGGORO HADI
Lahir : Bantul, DI Yogyakarta, 24 Juli 1979
Istri : Umi Haniah (32)
Anak:
- Nina Arumi Lu'lu El Nida (2)
- Nala Ulupi Fathiya El Rahma (6 bulan)
Pendidikan :
- SD Jetis, Bantul
- SMP Sewon, Bantul
- SMA, Sewon, Bantul
- S-1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Kegiatan : Koordinator Komunitas Pojok Budaya
Sebelum tahun 1980-an, Dusun Pandes, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, terkenal sebagai kampung produsen dolanan tradisional. Seiring dengan munculnya mainan berbahan plastik dan televisi, geliat ekonomi kampung ini mulai surut. Tinggal delapan orang lansia berumur lebih dari 70 tahun yang dulu "berjaya" mencipta aneka dolanan tradisional, seperti klontongan, angkrek, kitiran, manukan, wayang, klutuk, serta blimbingan.
OLEH ALOYSIUS B KURNIAWAN
Situasi itu membuat gerah Wahyudi Anggoro Hadi. Agar warisan dolanan anak khas Pandes tak punah, ia berusaha membuat warga setempat menyadari bahwa kampungnya memiliki warisan budaya yang unik.
Sayangnya, upaya itu gagal. Omongannya dianggap angin lalu. Bahkan, sebagian warga justru menilai Wahyudi hendak melakukan manuver politik.
"Warga kampung tak percaya omongan saya. Saya justru dicurigai ingin berpolitik," ceritanya tentang kondisi tahun 1999 itu.
Tujuh tahun kemudian, Bantul dan sekitarnya diguncang gempa bumi. Sebanyak 15 warga Dusun Pandes tewas dan 60 persen permukiman warga hancur. namun, hal ini menjadi momen kemunculan semangat kolektif masyarakat Pandes. Wahyudi mengajak pemuda setempat belajar dari delapan sesepuh pembuat dolanan yang masih ada.
"Setelah gempa 2006, terjadi proses transfer pengetahuan dan warisan budaya dari para simbah (kakek-nenek) kepada generasi muda di kampung ini. Lewat Forum Merti Dusun, sejak tahun 2008 kami mendirikan Pojok Budaya sebagai wahana bersama untuk mempertahankan lokalitas budaya. Ini upaya kami untuk mandiri, terlepas dari bantuan para sponsor setelah bencana berlalu," katanya.
Melalui Komunitas Pojok Budaya, warisan budaya dolanan dihidupkan kembali. Anak muda yang telah menjalani transfer warisan budaya dari orang tua diajak menularkan pengetahuan itu kepada anak-anak di kampung yang semakin terlena dengan televisi dan mainan modern.
"Maka, melalui Pojok Budaya, para pemuda kampung itu mengenalkan kembali aneka mainan tradisional Jawa yang juga mulai ditinggalkan, seperti egrang, dakon, klontongan, angkrek, kitiran, manukan, wayang, klutuk, dan blimbingan.
Dampak sosial dan ekonomi
Melihat semangat baru warga Pandes, sejumlah institusi pendidikan di Yogyakarta dan sekitarnya tertarik mengajak anak-anak didik mereka berkunjung ke Pojok Budaya. bahkan, sejumlah sekolah menjadikan program Wahyudi sebagai muatan lokal bagi siswanya.
Seiring dengan mulai munculnya minat masyarakat terhadap dolanan anak-anak, Wahyudi kemudian merancang paket-paket pelatihan anak, seperti berlatih membuat mainan tradisional, bermain permainan tradisional bersama, hingga pengenalan budaya tradisional. Para orang lansia pembuatmainan dolanan, ibu-ibu, hingga anak muda di Dusun Pandes juga dilibatkan dalam program ini.
:Jika dulu mainan manukan hanya dijual Rp 1.000 per buah, sekarang masyarakat di sini bisa mendapat pemasukan sampai Rp 30.000 per anak pada setiap workshop atau pelatihan. Simbah-simbah juga tak perlu lagi berjualan keliling kampung untuk menjual dolanan anak," ucapnya.
Setiap bulan, Pojok Budaya dikunjungi dua hingga tiga sekolah, dengan jumlah pengunjung 150 hingga 200 anak. Namun, menurut Wahyudi, lebih dari sekadar persoalan ekonomi, munculnya perhatian pihak luar semakin menumbuhkan kepercayaan diri baru bagi masyarakat Pandes, terutama para orang lansia pewaris dolanan anak.
"Di tempat lain banyak lansia yang dianggap menjadi beban sosial. Tetapi, di sini mereka memiliki kepercayaan diri karena mendapat penghargaan luar biasa, baik dari para murid, guru, maupun media. Eksistensi mereka diakui," lanjutnya.
Nenek Atemo (80) adalah satu dari delapan orang lansia produsen dolanan anak Pandes. Saat sekelompok anak usia SD berkunjung ke Pojok Budaya, ia dengan sabar ,mengajari mereka membuat manukan, mainan anak-anak berupa sangkar berbahan bambu dengan burung kecil dari bahan lilin di dalamnya.
Selain Nenek Atemo, terlihat pula beberapa pemuda dengan kaus bertuliskan "Kampung Dolanan" yang turut memandu anak-anak yang sedang mengikuti pelatihan.
"Kami bertugas mengajak anak-anak bemain dan membuat mainan. Sebelumnya, kami juga berlatih membuat mainan (tradisional) dari para simbah di sini," kata Joko (22), pemuda lulusan STM asal Dusun Pandes.
Dalam satu kali pelatihan, paling tidak sekitar 30 penduduk Dusun Pandes ikut terlibat. Mereka disertakan dalam berbagai aktivitas, seperti gejog lesung (menumbuk padi dengan lesung), menjadi fasilitator permainan, membuat mainan anak-anak, menyiapkan makanan bagi peserta, hingga menyiapkan buah tangan bagi peserta pelatihan.
Pelatihan yang dilakukan komunitas Pojok Budaya ini diselenggarakan secara sederhana di pelataran rumah Wahyudi atau di bangunan serbaguna Pojok Budaya. Pascagempa, bangunan itu disumbang oleh sebuah bank.
Agar anak-anak tak kepanasan, di belakang rumah Wahyudi dibangun gubuk bambu tempat anak-anak berlatih membuat dolanan anak dan bermain-main.
Meski banyak mengundang perhatian, khususnya lembaga pendidikan dan media, perhatian pemerintah daerah atas bangkitnya komunitas Pojok Budaya relatif kurang. Wahyudi sempat membuat presentasi di hadapan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul terkait program pendidikan berbasis masyarakat yang telah ia lakukan. Tetapi, katanya, tak ada respons dari pemerintah daerah.
Lokalitas
Ide Wahyudi untuk memelopori berdirinya komunitas Pojok Budaya sederhana saja. Awalnya ia terinspirasi untuk mendidik anaknya sesuai dengan kondisi lokal.
"Saat ini muncul tantangan, dimana anak-anak kita tumbuh justru dalam lingkup budaya luar (asing). Karena itu, menggali kembali kekayaan budaya lokal, seperti dolanan anak perlu dilakukan agar anak-anak tumbuh sesuai dengan lokalitas mereka," katanya.
Karena prinsip tersebut, sekitar tahun 1999 Wahyudi menjual televisi dan radio miliknya. Dua sumber informasi yang dia pertahankan hanyalah koran dan internet.
"Ini bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan saya terhadap kapitalisasi pendidikan. Saya yakin, anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dengan budaya lokal, salah satunya melalui dolanan tradisional anak-anak," kata Wahyudi tegas.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 MARET 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar