Minggu, 13 Maret 2011

Haji Malik, "Guru" Kakao Tanah Mandar


BIODATA

Nama : Haji Abudl Malik
Lahir : Polewali Mamasa (kini Polewali Mandar), 17 Agustus 1948
Istri : Hj Siti Aminah (50)
Anak :
- M Marwan (30)
-Muliati (27)
- Maskur (26)
- Muraiman (22)
- Mashuri (20)
- Kadri (18)
- Munawir (17)

Siang itu di Kelurahan Bebanga, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Haji Abdul Malik tengah menjelaskan tata cara sambung samping kepaada puluhan ketua kelompok petani kakao. Layaknya seorang guru, dia menjelaskan semua hal yang diketahuinya tentang kakao.

Oleh RENY SRI AYU TASLIM

Semua pertanyaan dia jawab dengan kalimat yang mudah dipahami petani. Semua itu dilakukannya di antara rerimbun tanaman kakao. Sesekali dia menunjukkan batang tanaman kakao tua yang sudah ditebang, lalu batang baru yang muncul, dan berbunga.
Sesekali ia juga menunjuk buah kakao berukuran sekepalan tangan orang dewasa, berwarna kemerahan atau hijau segar. Ia lalu mencotohkan cara memotong tangkai yang akan disambung samping, berikut panjangnya.
Begitulah aktivitas Malik setiap hari. Selalu ada petani yang datang bertanya tentang budidaya kakao kepadanya. Sebagian datang dari desa atau kecamatan yang jaraknya lebih dari 100 kilometer dengan waktu tempuh berjam-jam. Mereka mau datang ke tempat Malik untuk belajar gratis. Bahkan, sebagian menginap di rumahnya. Jika rumah panggung Malik sedang penuh, para "murid" tidur di kolong rumah.
Kebun kakao Malik setahun terakhir menjadi "sekolah" bagi petani kakao hampir di seluruh penjuru tanah Mandar, sebutan untuk pesisir pantai barat Sulawesi yang dominan dihuni suku Mandar.
Kalau umumnya tanaman kakao perlu tiga tahun untuk mulai berproduksi, ditangan Malik tanaman hasil sambung smping hanya butuh setahun. Sebagian hasil sambung samping itu sudah berbunga pada usia 3-5 bulan, bahkan ada yang berbuah pada usia 5 bulan. Di kebunnya tak kurang dari 18 varietas dikembangkan. Ada varietas lokal, seperti Sulbar 1 dan Sulbar 2, ada juga dari berbagai daerah lain.
Tanaman kakao lama dibandingkan dengan tanaman hasil sambung samping, baik mutu maupun produktivitasnya, jauh berbeda. Di setiap pohon, buah kakao bisa mencapai 250 buah setiap panen atau berkisar 1,5-2 ton per hektar. Dengan hitungan sederhana, bila tanaman lama butuh 25-30 buah untuk mendapatkan satu kilogram biji kakao, tanaman hasil sambung samping perlu 15-20 buah, bahkan bisa hanya 7-10 buah.
Inilah yang mengundang petani lain untuk belajar kepada Malik. Antusiasme petani itu tak lepas dari kondisi perkakaoan di Mamuju, bahkan hampir se-Sulawesi Barat, yakni serangan hama vascular streak dieback (VSD), penggerek buah kakao, penggerek batang, hingga busuk buah. Ini diperparah lagi usia tanaman yang sudah 20-30 tahun. Padahal, kakao adalah sumber utama penghidupan sekitar 80 persen warga.
Meremajakan tanaman dengan menebang habis dan mengganti dengan tanaman baru perlu biaya besar dan membuat petani kehilangan pendapatan hingga minimal tiga tahun. Maka, cara sambung samping menarik minat petani karena lebih efisien dan efektif.

Memberi contoh

Menjadi "guru" para petani kakao di Mamuju bukan hal baru baginya. Sejak tahun 1970 sampai pensiun pada 2008, Malik menjalani pekerjaan sebagai penyuluh pertanian lapangan. Selama 38 tahun itu ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Mamuju.
Umumnya petani lebih senang melakukan apa yang ingin dan biasa dikerjakan. Mereka tak siap menerima inovasi dan petunjuk teknis. Apalagi, selama menjadi penyuluh, penjelasan yang diberikan hanya teori. Jadilah Malik merasa kurang didengarkan.
Prihatin dengan kondisi ini, terlebih dengan mengganasnya serangan pelbagai hama kakao, tahun 2003 ia membeli satu hektar kebun yang tanaman kakaonya rusak. Kebun ini dia beli dengan uang tabungan untuk hari tua. Ia lalu melakukan sambung samping.
"Waktu tanaman sambung samping mulai tumbuh, saya menebang batang pohon yang sudah tua. Petani di sekitar kebun saya menertawakan. Ketika tanaman sambung samping berbuat lebih cepat, banyak yang sinis dan bilang buah itu tak akan laku dijual," ceritanya.
Salimin (28), Ketua Kelompok Tani Bunga Mekar, yang diutus kelompoknya belajar di kebun Malik, menambhakan, "Dulu kami tak ada yang mau ikut apa yang dibuat Pak Malik kaarena mendengar buah hasil sambung samping itu tak laku dijual. Ternyata harganya lebih mahal, ya kami datang belajar."
Seusai mempraktikkan sambung samping di lahan satu hektar, Malik membeli lagi lahan seluas satu kektar dan melakukan hal yang sama. Semakin banyak pula petani yang mengikuti caranya berkebun dan belajar cara sambung samping.
Agar para petani berssemangat, "Saya bercerita, bisa berhaji setelah kakao di kebun sambung samping ini buahnya berlimpah dan bagus. Sebab, umumnya cita-cita petani di Mamuju adalah berhaji dari hasil kebun."
Keberhasilan ini menyebar dari mulut ke mulut mengundang petani dari desa yang jauh untuk datang. Kebun Malik pun menjadi tempat belajar berkebun kakao. Ia menamainya Pusat Pelatihan Petani Pedesaan Swadaya (P4S). Guna memudahkan proses berbagi ilmu, ia mensyaratkan, mereka haruslah ketua kelompok tani atau diutus oleh kelompoknya. Sekitar 150 kelompok tani sudah mendaftar.
Abdul Hamid (64), tokoh masyarakat dari Kecamatan Bone Hau yang berjarak lebih 100 km dari kebun Malik, mengatakan, "Saya sudah beri tahu petani di kampung soal kebun Pak Malik, ada seratusan yang mau belajar di sini."
Berhasil mendorong petani melakukan sambung samping, Malik mulai menerapkan penggunaan pupuk organik. Katanya, kakao akan bernilai tambah dengan buah yang bagu dan penggunaan pupuk organik. Ia membuat cara sederhana dengan menggunakan pupuk kompos, hasil menimbun sisa-sisa daun dan sampah rumah tangga organik, termasuk kotoran ternak.
"Saya ingin mengolah pupuk organik supaya lebih praktis. Petani lain juga bisa ikut membuatnya, tinggal alat pengolahnya yang belum saya miliki. Saya juga ingin menjadikan P4S berbentuk koperasi agar bisa menyalurkan pupuk dan kebutuhan pertanian lain secara murah dan mudah. Sejauh ini, persoalan petani adalah pupuk yang kerap sulit didapat dan harganya mahal," kata Malik menambahkan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 1 APRIL 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar