NELVI
Lahir : Pandai Sikek, Sumatera Barat, 25 Juni 1970
Pendidikan :
- SDN Pandai Sikek, Sumbar
- MTsN Koto Baru, Sumbar
- SMAN Padang Panjang, Sumbar
- IKIP Padang
ZULKIFLI
Lahir : Padang, Sumataer Barat, 16 Maret 1960
Pendidikan :
- SD Adabiah, Padang
- SMP Adabiah, Padang
- SMAN 1, Padang
- Jurusan Sastra Inggris, IKIP Padang, tak tamat
- Ekonomi, Universitas Andalas, Padang, tak tamat
- Antropologi, Universitas Andalas, Padang, lulus 1988
- Magister Manajemen, Universitas Negeri Padang, lulus 2006
Pasangan Nelvi dan Zulkifli adalah wirausaha mandiri yang tumbuh dari bawah tanpa gemerlap fasilitas apapun dari pemerintah atau kredit industri perbankan. Setelah berhasil, keduanya berbagi resep kesuksesan, bahkan modal, untuk mencetak sejumlah pengusaha mandiri baru.
OLEH INGKI RINALDI
Zulkifli kerap memberikan ceramah kewirausahaan, memotivasi orang untuk berusaha secara mandiri. Nelvi pun tak jarang menyambangi komunitas wirausaha baru disejumlah kabupaten di Smuatera Barat.
"Tak ada jalan instan dalam berwirausaha," kata Nelvi.
Semua itu dilakukan pasangan ini nyaris dalam "diam". Nelvi sering disangka pegawai toko oleh pelanggan yang hendak membeli kain tenun songket produksinya.
"Kadang saya ditanya, sudah berapa tahun kerja di sini? Ya saya jawab saja, baru dua bulan," selorohnya.
Selain tak sungkan membeberkan ssegala ihwal soal bisnis, mereka dengan senang hati juga menjadi "rahim" bagi lahirnya wirausaha baru.
Dengan modal belasan juta rupiah yang mereka gulirkan, mereka telah melahirkan sejumlah pengusaha baru yang mandiri.
Menurut Zulkifli, relatif sulitnya menumbuhkan wirausaha baru setidaknya disebabkan tak ada informasi yang memadai dari pemerintah soal peluang usaha. Selain itu, keinginan cepat kaya cenderung menjadi penyakit bagi sebagian wirausaha pemula.
"Untuk sukses dalam wirausaha setidaknya butuh waktu puluhan tahun," kata Zulkifli.
Nelvi mengenang masa puluhan tahun lalu saat memulai usaha di bidang pembuatan dan penjualan tenun songket, bordir, dan beragam penganan khas Minang. Sama seperti banyak saudara dan teman sebayanya, anak kedua dari lima bersaudara asal Nagari Pandai Sikek, KecamatanX Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, ini sejak kecil akrab dengan tenunan songket.
Nagari Pandai Sikek tempatnya ebrasal adalah salah satu penghasil tenun songket di Sumbar selain Nagari Silungkang Duo, Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto, yang diketahui menjadi muasal penyebaran industri kecil penghasil tenun songket.
Dulu, barang dagangannya kerap ditolak sejumlah toko di Kota Padang. Ia mengibaratkan tantangan itu seperti cemeti yang melecutnya untuk semakin maju.
"Banyak orang tak sabar dengan penolakan seperti itu. Namun, dalam berusaha, justru cobaan itu membuat kita lebih kuat," ujar Nelvi.
Kejelian
Sejak kuliah pada Jurusan Kimia IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang) tahun 1989, Nelvi sudah memulai usahanya. Ia menawarkan produksi tenun dari kampungnya ke sejumlah toko di Kota Padang. Ia juga mendesain beberapa motif tenun yang diproduksi di Nagari Pandai Sikek. Kreativitas dan kejelian dalam inovasi menjadi kata kunci lain bagi Nelvi selain kesabaran dan keuletan. Selain songket, ia juga memproduksi aksesoris, seperti dompet dan gantungan kunci. Awalnya,bahan untuk produksi sampingan itu ia ambil dari songket yang tak terpakai.
Tahun 1992, dia berhasil meyakinkan semua toko di Kota Padang. Bahkan, produknya mampu menembus gerai di bandara.
Tahun 1994, Nelvi lulus kuliah. Namun, karena sakit, dia tak lulus tes wawancara menjadi pegawai negeri sipil di Departemen Agama . Sejak itulah, Nelvi yang semula ingin menjadi guru semakin menekuni usahanya. Dia terus melakukan ekspansi, terutama setelah bertemu Zulkifli, pemilik toko yang lalu mempersuntingnya pada 1997.
Agak berbeda dengan Nelvi, Zulkifli mulai berwirausaha tahun 1978 dengan mengelola toko yang membeli kain tenun songket. "Dulu ada toko-toko lain yang menolak songketnya (Nelvi). Kalau saya, saya bilang bagus terus dan saya beli," seloroh Zulkifli.
Zulkifli menyebut keterlibatannya di dunia wirausaha sebagai peristiwa "tersesat ke jalan yang benar". Lelaki pemegang gelar magister manajemen dari Universitas Negeri Padang ini sempat menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Padang (1985-1987).
"Sekarang saya ingin melanjutkan lagi ke jenjang S-3," kata Zulkifli yang menolak diambil foto dirinya.
Ia menekankan, salah satu sifat yang juga mesti dimiliki wirausaha selain kesabaran dan daya tahan tinggi adalah keinginan untuk terus belajar. Di samping itu, mesti jelas tujuan dan fokusnya.
"Seperti naik taksi, kalau tidak ada tujuan, mana mau sopir taksi membawa kita, kan?" katanya.
Skala bisnis keduanya makin membesar dengan merambah bisnis penganan khas Minangkabau. Sistem bagi hasil yang adil diupayakan pasangan pengusaha ini dengan terlebih dulu membeli semua produk yang ada.
Seleksi pasar yang kemudian menentukan produk mana yang layak diteruskan untuk dijual dan produk mana yang harus menyingkir. Namun, untuk produk yang belum layak, mereka tetap berkenan memberikan masukan agaar menjadi lebih baik.
"Dulu, awalnya toko saya hanya berukuran 4 meter x 8 meter (32 meter persegi), sekarang menjadi 250 meter persegi," tutur Zulkifli.
tahun 2000, mereka membuka sebuah tempat usaha baru di kawasan Sei Beremas, Kota Padang. Sejumlah karyawan Pertamina yang kerap mampir di toko barunya itu lantas menawari mereka program binaan kewirausahaan.
Kini, mereka mengelola 3 tempat usaha di Kota Padang, 2 tempat usaha di Nagari Pandai Sikek, dan 1 tempat usaha di Kota Bukittinggi. Kejelian memanfaatkan peluang pasar dan menunda kesenangan adalah modal mereka berdua untuk bertahan dalam masa-masa sulit.
Saat industri pariwisata Sumbar dihajar gempa bumi pada 30 September 2009, misalnya, omzet bulanan pada salah satu toko mereka di Padang menurun drastis, dari sekitar Rp.300 juta menjadi hanya sekitar Rp.150 juta per bulan.
"Banyak pedagang yang mengeluh pendapatannya sekarang turun. Bagi kami, itu biasa saja dalam bisnis karena ada pasang surutnya," ujar Zulkifli.
Rahasia mereka bisa relatif mudah melewati masa-masa sulit ialah menerapkan pola hidup sederhana dan hanya mengonsumsi barang-barang yang benar-benar diperlukan. Silaturahim juga menjadi kunci sukses lain. Tanpa sungkan mereka turun langsung membantu membersihkan sekolah yang tak jauh dari tempat tinggal mereka sekarang.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 21 MARET 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar