AGNES BARABARA KUNDIMGO
Lahir: Waropko, Boven Digoel, Papua, 20 Maret 1974
Pendidikan:
- SD Xaverius Mindiptana, Boven Digoel, 1983-1990
- SMP Mindiptana, 1990-1993
- Pendidikan bidan C Merauke, 1993-1996
Suami: Cornelius F Wigo (36)
Anak: Andreas A Erenisan (12), Dorthea B Warawam (9), Rosdianti F Wigo (8 bulan)
Pekerjaan:
- Bidan Puskesmas Pembantu Maryam, Distrik Mandobo, Boven Digoel,
1996-2004
- Bidan Puskesmas Tanah Merah, Boven Digoel, 2004-2011
- Bidan RSUD Boven Digoel, 2011-sekarang
Bertugas pada puskesmas pembantu di pedalaman Boven Digoel, Papua, tidak membuat bidan Agnes Barabara Kundimgo kesepian dan menyerah, ia bahkan menikmati dan tertantang menolong kebiasaan persalinan berisiko yang masih dilakoni masyarakat pedalaman Papua.
OLEH ERWIN EDHI PRASETYA & NASRULLAH NARA
"Memotong tali pusar bayi menggunakan parang, pisau dapur, sampai pecahan kaca itu biasa dilakukan masyarakat di pedalaman," kata Agnes.
Peralatan seadanya memunculkan faktor risiko infeksi yang dapat mengakibatkan kematian bayi ataupun si ibu. Perdarahan dan infeksi menjadi penyebab lagsung utama kematian ibu melahirkan.
Masyarakat di pedalaman juga masih memegang tradisi melahirkan harus di luar rumah utama. darah dari persalian dianggap sebagai darah kotor yang tidak boleh mencemari rumah. Jika sampai setetes darah itu mengenai ruma utama, dipercaya kesialan atau musibah akan terjadi.
Keluarga itu, misalnya, akan susah mendapat buruan rusa di hutan atau ikan di rawa. Karena itu, adat setempat menekankan, perempuan hamil harus bersalin di luar rumah. Biasanya si ibu dibuatkan pondok dari ranting kayu seadanya di halaman belakang rumah atau di hutan.
Ibu dan bayinya baru boleh kembali ke rumah setelah benar-benar bersih. Persalinan itu biasanya dibantu dukun beranak atau orangtua. "Biasanya setelah seminggu melahirkan, baru ibu dan bayinya dibolehkan masuk rumah," ungkap Agnes.
Ketika hendak mencegah praktik itu dan menolong persalinan dengan keahlian kebidanannya demi keselamatan bayi dan si ibu, ia justru dilarang dengan alasan adat dan tradisi. Namun, Agnes berkeras tetap mendampingi persalinan dan bersiap-siap jika terjadi kemungkinan terburuk.
"Mereka jarang memanggil bidan. Kalaupun ada warga yang memanggil bidan, tetap tidak mau dibantu," ujarnya.
Ia pernah diminta membantu persalinan, tetapi baru dipanggil setelah kepala si bayi mulai keluar. Ia bersyukur persalinan berjalan baik sehingga ibu dan bayinya selamat.
Pendekatan dan penyuluhan kesehatan pun ia lakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, upaya itu berhasil. Masyarakat di tempatnya bertugas mulai percaya kepadanya untuk menolong setiap persalinan.
Panggilan jiwa
Agnes bertugas di Puskesmas Pembantu Kampung Maryam, Distrik Mandobo, mulai tahun 1994 hingga 2004. Bertugas di puskesmas pembantu kampung pedalaman itu ia jalani dengan sepenuh hati.
Baginya, menjadi bidan adalah panggilan jiwa. Karena itu, di mana pun ditugaskan, ia berusaha mengabdi sebaik mungkin. Puskesmas Pembantu Maryam, misalnya, berlokasi relatif jauh dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel.
Ia tidak tahu pasti berapa kilometer jaraknya. Yang ia tahu, perjalanan ke Tanah Merah harus ditempuh melalui sungai dan mendayung perahu selama empat hari. Hal itu dijalaninya bersama petugas puskesmas pembantu yang lain setiap kali mereka hendak mengambil stok obat-obatan, menyampaikan laporan kegiatan, atau mengambil gaji bulanan.
Kalau hari beranjak malam, ia menepi dan menginap di bivak-bivak di pinggir sungai. Beban menjadi lebih ringan saat mereka mendapat bantuan operasional perahu bermotor.
Tahun 2004-2011, Agnes ditugaskan di Puskesmas Tanah Merah dan mulai tahun lalu bertugas di RSUD Boven Digoel.
Menjadi bidan adalah keinginan Agnes sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, ia diminta tolong ibunya, Dortea Warawam, yang sedang membantu persalinan kakak perempuan Agnes.
"Mama bilang, 'Agnes, tolong potong tali pusar dengan gunting.' Itu pengalaman yang luar biasa," ungkapnya.
Sejak itulah tumbuh kuat dalam dirinya cita-cita menjadi bidan karena ingin menolong persalinan. Selepas SMP, Agnes remaja lantas mengikuti seleksi pendidikan kebidanan di Merauke dan dinyatakan lulus.
Selama 16 tahun ia menjadi bidan, sudah tidak terhitung berapa jumlah ibu bersalin yang telah dibantunya. Siang itu, misalnya, di RSUD Boven Digoel, Agnes tengah membantu menolong seorang pasien yang mengalami abortus (keguguran). Ia mengantarkan pasien itu ke rumah sakit dengan menumpang angkutan kota.
Harap maklum, di Boven Digoel, ambulans adalah barang langka. Sopirnya tidak bisa diminta atau dipanggil saat ada keadaan darurat. Pasien yang sedang hamil tiga bulan tersebut sebulan lalu datang kepadanya untuk memeriksakan kehamilan.
"Saat itu keluar bercak-bercak darah dari pasien. Kandungannya tidak kuat. Saya sudah melarang dia kerja dulu, tetapi beberapa hari lalu dia mulai kerja lagi," kata istri Cornelius Frans Wigo ini. Kelancaran tugas Agnes ditopang profesi sang suami sebagai mantri di Instalasi Gawat Darurat RSUD Boven Digoel.
Angka kematian tinggi
Selama ini, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di pedalaman Boven Digoel masih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan belum tersedianya fasilitas kesehatan yang bermutu, merata, dan mudah dijangkau masyarakat, juga kurangnya tenaga kesehatan.
Selain itu, faktor geografis dan transportasi yang sulit pun turut berperan, "Angka kematian bayi di daerah pedalaman masih tinggi," ungkapnya.
Data Dinas Kesehatan Boven Digoel menunjukkan, tahun 2011, kematian bayi tercatat 21 kasus, abortus 19 kasus, kematian anak balita 9 kasus, dan kematian ibu 2 kasus. Angka ini bisa jadi lebih tinggi karena masih banyak kampung di pedalaman yang jauh dari jangkauan tenaga kesehatan sehingga tak tercatat.
Kesadaran memeriksakan kehamilan di kalangan ibu hamil juga masih rendah. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Boven Digoel, tahun 2011, kunjungan pemeriksaan kehamilan pada usia kehamilan 0-12 minggu sebanyak 6.052 ibu hamil. Akan tetapi, pada usia kehamilan 3 bulan ke atas, kunjungan pemeriksaan merosot menjadi hanya 730 ibu hamil. Hal itu semakin menambah risiko saat melahirkan.
Dari 1.036 kunjungan ibu hamil dengan faktor risiko, yang terbanyak adalah jarak kehamilan kurang dari dua tahun, yakni 24,32 persen. Kasus gizi buruk pun semakin menambah deretan persoalan kesehatan di daerah itu. Pada 2011, anak balita gizi buruk tercatat sebanyak empat orang.
Berbagai persoalan itu masih menjadi tugas berat bagi bidan Agnes dan tenaga kesehatan lain di Boven Digoel. Bagi Agnes, panggilan hidupnya sebagai bidan akan selalu dilakoni dengan semangat pengabdian untuk terus menolong.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 29 JUNI 2012