Kamis, 07 Juni 2012

Kristiono: Kesetiaan pada Perjuangan

KRISTIONO IMAN SANTOSO
Lahir: Yogyakarta, 11 September 1959
Pendidikan: SMA
Istri: Lanita Gusvini (53)
Anak:
- Indah Kusumaningrum (24)
- Dwi Putra Nugraha
Pekerjaan: Wiraswasta
Organisasi: Education Forum dan gereja, donor darah rutin

Kristiono Iman Santoso hanyalah orangtua biasa. Pada awalnya dia ingin memperjuangkan ketidakadilan yang menimpa putri sulungnya akibat kebijakan ujian nasional yang menentukan kelulusan siswa. Hingga Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan ujian nasional, Kristiono tetap setia untuk memperjuangkan ujian nasional yang adil bagi siswa.

OLEH ESTER LINCE NAPITUPULU

Putusan hakim kala itu spontan disambut sujud syukur Kristiono. Suasana haru dan tangis serta nyanyian "Indonesia Raya" memenuhi ruang sidang.
     Kristiono menolak jika dirinya disebut punya andil besar dalam perjuangan masyarakat yang menuntut pelaksanaan ujian nasional (UN) yang lebih memperhatikan hak anak. Dia hanya merasa terpanggil untuk ikut memperjuangkan keadilan. Hal itu dia buktikan dengan selalu hadir dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, rapat, pertemuan dengan pemerintah, DPR, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional HAM, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak serta unjuk rasa di berbagai tempat.
     Mulai dari hiruk-pikuk gugatan atas UN di PN Jakarta Pusat pada tahun 2007 hingga dikuatkan putusan kasasi Mahkamah Agung tahun 2009, Kristiono setia hadir sebagai salah seorang penggugat utama. Ketika perjuangan untuk mendesak pemerintah serius mengevaluasi pelaksanaan UN mulai sayup-sayup terdengar, Kristiono tetap setia hadir ke PN Jakarta Pusat untuk memohonkan eksekusi keputusan soal UN yang telah berkekuatan hukum tetap.
     Kristiono bersama mantan guru Amir Hamzah yang terdaftar sebagai bagian dari 58 penggugat kebijakan UN, didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, hingga awal Mei 2012 tetap setia hadir di PN Jakarta Pusat. Mereka memonitor permohonan agar majelis hakim PN Jakarta Pusat menegur pemerintah yang mengabaikan keputusan hukum untuk menghentikan UN selama masih terjadi ketimpangan dalam sarana dan prasarana pendidikan, kondisi guru, serta akses informasi di seluruh sekolah di Indonesia.
    "Saya bertanggung jawab moral untuk mengawal sampai tuntas keputusan pengadilan. Ternyata kemenangan perjuangan masyarakat dan pemerhati pendidikan belum 'menang' sesungguhnya," kata Kristiono.

Pemerintah lalai

     Kesetiaan Kristiono dipertahankan sejak gugatan warga negara terhadap pemerintah terkait dengan kebijakan UN pada tahun 2006 oleh 58 orang yang mewakili berbagai komponen masyarakat didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Pada 21 Mei 2007, majelis hakim yang diketuai Adriani Nurdin memenangkan gugatan masyarakat.
     Pemerintah dinilai lalai dalam memenuhi dan melindungi hak asasi warga negara yang menjadi korban kebijakan UN. Majelis hakim mengabulkan gugatan subsider para penggugat yang memohon hakim untuk memutuskan kasus ini seadil-adilnya. Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro selaku tergugat I-IV dalam kasus ini dinyatakan lalai memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak. Sistem pendidikan nasional juga perlu ditinjau.
     Berbekal keputusan PN Jakarta Pusat inilah kelompok pemerhati pendididkan yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban UN (Tekun) menuntut pemerintah agar menghentikan UN sebagai penentu kelulusan siswa. Kondisi pendidikan di Indonesia masih timpang.

Terpukul

     Tidak pernah terbayang dalam benak bapak dua anak ini terlibat dalam gugatan kebijakan nasional pendidikan. Dia selama ini bekerja sebagai staf logistik di perusahaan kontraktor yang tidak banyak mengerti tentang pendidikan.
     Namun, hal ini berubah ketika anak pertamanya, Indah Kusumaningrum, siswa SMA swasta di Depok, pada 19 Mei 2006 tidak bisa mendapat ijazah SMA. Putrinya yang berprestasi baik, selalu masuk ranking 10 besar di sekolah, gagal di salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Nilai UN Matematika anaknya 4,00, padahal nilai minimal yang dipatok pemerintah 4,26. Dua mata pelajaran lain, yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, masing-masing 8,00.
     Sebagai orangtua, Kristiono dan istri merasa terpukul dengan ketidaklulusan anak mereka. Apalagi melihat anak lain yang nilainya 5,5,5 bisa lulus. "Rasanya kecewa. Kelulusan anak selama belajar tiga tahun ditentukan semata-mata hasil ujian 3 kali 2 jam. Saya cuma berharap ada perubahan supaya kelulusan siswa tidak semata-mata dilihat dari hasil UN," ujarnya.
     Kristiono dan istri mendampingi putrinya yang putus asa. Mereka membesarkan hati putrinya dengan mengatakan bahwa ketidaklulusan bukan akhir dari segalanya.
     Ternyata ketidaklulusan cukup banyak dialami anak-anak yang selama ini berprestasi baik di sekolah. Permintaan untuk UN ulangan tidak direstui pemerintah. Siswa yang tidak lulus disarankan ikut ujian Paket C atau setara SMA.
     Namun, kepasrahan Kristiono sampai pada batasnya ketika mendaftarkan anaknya ke sebuah perguruan tinggi negeri (PTN). Pihak kampus mengatakan belum ada instruksi kalau ijazah Paket C diterima.
     Dalam kebingungan menyiapkan masa depan anaknya, Kristiono datang ke LBH Jakarta. Ia berkonsultasi mengenai ketidakadilan yang menimpa anaknya. Banyaknya keluhan serupa membuat LBH Jakarta membuka pengaduan.
     Kristiono mengajak putrinya bersama anak-anak korban UN lainnya memperjuangkan perubahan UN. Ada siswa kelas III SMA yang sudah diterima di PTN favorit dan universitas ternama di luar negeri, tetapi tak bisa kuliah karena nilai pada satu mata pelajaran UN di bawah standar.
     "Anak saya yang tadinya tertekan jadi bangkit lagi. Akhirnya dia bisa kuliah di kampus swasta, tapi dengan syarat dalam satu tahun harus sudah ada ijazah Paket C," ujarnya.
     Kristiono pernah dicibir karena dianggap tidak menerima kenyataan anaknya  tidak lulus UN. "Saya bukan berjuang untuk anak saya saja. Tetapi harus ada keadilan supaya siswa jangan semata dinilai dari hasil UN," katanya.
     Bahkan, keterlibatan Kristiono dalam memperjuangkan perubahan UN kala itu membuat dia sering meminta izin meninggalkan pekerjaannya. Akhirnya, dia melepas pekerjaannya.
     Perjuangan Kristiono dan kawan-kawan membuahkan hasil. Tim Advokasi Korban UN yang mewadahi perjuangan ini bisa mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan dalam pelaksanaan UN.
     Awalnya, pemerintah merestui adanya UN ulangan bagi siswa yang tidak lulus. Kemudian, diubah lagi dengan menambah penilaian sekolah dalam penentuan kelulusan. Setidaknya, hasil UN berkontribusi 60 persen dan nilai sekolah berkontribusi 40 persen.
     "Saya bukan ingin mencari nama. Saya hanya terikat dengan moral ingin mengawal keputusan pengadilan sampai akhir," kata Kristiono.

dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 7 JUNI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar