HADI UTOMO
Lahir: Batang, Jawa Tengah, 26 Januari 1939
Pendidikan:
- SD dan SMP di Brebes, Jawa Tengah
- SMA B Pekalongan, Jawa Tengah
- Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (Tak Tamat)
Istri: Linda Masyudah (55)
Anak: 2 orang
Pekerjaan: Mengelola radio dan penulis fiksi
Penghargaan:
- Karya Terbaik Masyarakat (Kamus Bahasa Tegal-Indonesia) dari Pemerintah
Kabupaten Tegal, 2009
- Pemerhati Seni Budaya dari Pemerintah Kabupaten Tegal, 2012
Kesadaran bahwa bahasa Tegal memiliki peran penting dan demi menjaga agar bahasa ini tidak punah menjadi penyemangat bagi Hadi Utomo untuk tetap setia merawat bahasa Tegal. Selama lebih dari 10 tahun dia mengumpulkan satu per satu kosakata bahasa Tegal, lalu menyusun menjadi kamus bahasa Tegal-Indonesia.
OLEH SIWI NURBIAJANTI
Meskipun kamus tersebut belum dipasarkan secara terbuka, kehadiran kamus itu sangat berharga, terutama bagi kaum muda Tegal. Kamus bahasa Tegal-Indonesia tersebut dinilai penting agar warga Tegal dan sekitarnya tidak kehilangan bahasa ibu. Dalam kamus itu, terdapat sekitar 5.000 kosakata yang sudah diterjemahkan Hadi Utomo.
Pria yang lahir di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ini mulai menetap di Tegal tahun 1980. Sekarang dia tinggal di Desa Tembok Luwung, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Setelah menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Brebes tahun 1954, Hadi melanjutkan pendidikan di SMA B Pekalongan hingga tahun 1957. ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Publisistik di Jakarta, tetai tidak tamat.
Saat di Jakarta, Hadi pernah bekerja di salah satu surat kabar. Dia juga menulis untuk sejumlah media cetak hingga tahun 1968. Selanjutnya, Hadi pindah ke Cirebon dan memilih menjadi petani sampai tahun 1980. Baru setelah itu, ia memutuskan pindah ke Tegal dan bekerja mengelola sejumlah radio.
Hingga kini Hadi masih aktif menjadi penanggung jawab siaran dan berita pada Radio gemilang di Kabupaetn Brebes. Setiap Sabtu sore dia membawakan siaran berbahasa Tegal di radio tersebut dalam acara "Medang Sore" (minum pada sore hari).
Mengelola radio
Hadi mulai tergelitik merawat bahasa Tegal mulai tahun 1990. Sebagai pengelola radio, ia sering mendapati penggunaan bahasa Tegal sebagai materi siaran, materi promosi, dan materi iklan sejumlah perusahaan.
Bahkan, sebagian besar perusahaan memutuskan menggunakan jingle berbahasa Tegal untuk iklan mereka di radio. Bahasa Tegal juga menjadi slogan di beberapa daerah, seperti "Tegal Keminclong Moncer Kotane", yang menjadi slogan Kota Tegal.
Hadipun sering diminta, membuatkan jingle untuk iklan perusahaan di radio. Sampai sekarang ia melihat hampir 75 persen perusahaan yang memasarkan produknya di Tegal menggunakan jingle bahasa Tegal untuk iklan mereka di radio. Jumlah jingle berbahasa Tegal yang sudah diciptakan Hadi pun mencapai lebih dari 100.
Melihat kondisi tersebut, Hadi menyadari bahwa bahasa Tegal memiliki peran penting. Iklan yang menggunakan bahasa Tegal dirasakan lebih mengena dalam masyarakat sehingga pemasaran produknya juga lebih mudah.
"Bahasa Tegal itu penting sebagai sarana komunikasi, ekspresi, dan budaya," kata Hadi.
Karena itu, ia kemudian tergerak membuat kamus bahasa Tegal guna merawat keberadaan bahasa tersebut.
Ia sengaja menggunakan istilah merawat, bukan melestarikan. Alasannya, dengan istilah melestarikan, itu berarti ada tanggung jawab bahwa bahasa tersebut tidak mungkin punah.
Padahal, menurut Hadi, suatu bahasa bisa punah karena pemakainya semakin sedikit. "Jadi, bahasa itu perlu dirawat untuk menunda kepunahan," ujarnya.
Kamus bahasa Tegal ia susun sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun di antara kesibukannya sebagai pengelola radio. Setiap kata berbahasa Tegal yang ditemukan dan muncul dalam kehidupan sehari-hari ia catat, lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Selain 5.000 kosakata yang sudah tersusun dalam kamus, Hadi masih memiliki ratusan kata lain yang belum ia bukukan. Kamus yang dibuatnya itu mendapat penghargaan sebagai Karya Terbaik Masyarakat dari Pemerintah Kabupaten Tegal tahun 2009.
Selain kata-kata, ia juga menemukan beberapa ajaran berbahasa Tegal yang mengajarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Seperti ungkapan aja onggrongan yang berarti jangan melakukan sesuatu sekadar untuk mendapat pujian, aja gagahan yang berarti jangan sok gagah atau sok berkuasa, serta aja kadiran yang berarti jangan mentang-mentang.
Kantong budaya
Hadi menolak anggapan bahwa bahasa Tegal kasar dan tak mengenal unggah ungguh (tata krama). Bahasa Tegal memang berbeda dengan bahasa Jawa yang banyak digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo karena Tegal lokasinya jauh dari pusat budaya keraton.
Sementara bahasa Jawa halus yang berlaku di wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, katanya, merupakan bahasa yang diciptakan dalam sistem budaya Mataram untuk menghormati raja-raja. "Tegal merupakan kantong (budaya) sendiri," tutur Hadi.
Karena kondisi itu pula, bahasa Tegal cenderung tumbuh liar dan berkembang apa adanya di masyarakat. Bahkan, karena keliarannya, masyarakat Tegal banyak yang membuat bahasa sendiri untuk percakapan sehari-hari.
Dalam bahasa Tegal pun, kemudian muncul banyak padanan kata untuk satu arti, seperti kata rada, mandan, manda, dan semanda, yang semuanya berarti agak.
Bahasa Tegal juga lebih bersifat egaliter dan demokratis. Bahasa Tegal tidak mengenal struktur penggunaan bahasa, seperti halnya dalam bahasa Jawa, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko.
Dalam bahasa Tegal hanya dikenal bahasa ngoko dan bebasan, yaitu bahasa yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Seperti kata kowen (kamu) yang kemudian diganti menjadi kata rika atau sampeyan, dan kata durung (belum) yang berubah menjadi dereng.
Oleh karena itu, di tengah upayanya merawat bahasa Tegal, Hadi berharap ada lembaga resmi yang mau dan mampu menangani perkembangan bahasa Tegal. Keberadaan lembaga tersebut untuk menjinakkan keliaran bahasa Tegal sehingga memunculkan pembakuan dalam bahasa tersebut.
Dengan adanya pembakuan, bahasa Tegal bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah sehingga bisa dijadikan sebagai mata pelajaran bagi anak didik di Tegal.
Selama ini pelajaran bahasa daerah yang diterima anak sekolah di Tegal merupakan bahasa Jawa yang biasa digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo.
Hal itu justru membingungkan siswa karena bahasa yang mereka pelajari tak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 1 JUNI 2012
Selain 5.000 kosakata yang sudah tersusun dalam kamus, Hadi masih memiliki ratusan kata lain yang belum ia bukukan. Kamus yang dibuatnya itu mendapat penghargaan sebagai Karya Terbaik Masyarakat dari Pemerintah Kabupaten Tegal tahun 2009.
Selain kata-kata, ia juga menemukan beberapa ajaran berbahasa Tegal yang mengajarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Seperti ungkapan aja onggrongan yang berarti jangan melakukan sesuatu sekadar untuk mendapat pujian, aja gagahan yang berarti jangan sok gagah atau sok berkuasa, serta aja kadiran yang berarti jangan mentang-mentang.
Kantong budaya
Hadi menolak anggapan bahwa bahasa Tegal kasar dan tak mengenal unggah ungguh (tata krama). Bahasa Tegal memang berbeda dengan bahasa Jawa yang banyak digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo karena Tegal lokasinya jauh dari pusat budaya keraton.
Sementara bahasa Jawa halus yang berlaku di wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, katanya, merupakan bahasa yang diciptakan dalam sistem budaya Mataram untuk menghormati raja-raja. "Tegal merupakan kantong (budaya) sendiri," tutur Hadi.
Karena kondisi itu pula, bahasa Tegal cenderung tumbuh liar dan berkembang apa adanya di masyarakat. Bahkan, karena keliarannya, masyarakat Tegal banyak yang membuat bahasa sendiri untuk percakapan sehari-hari.
Dalam bahasa Tegal pun, kemudian muncul banyak padanan kata untuk satu arti, seperti kata rada, mandan, manda, dan semanda, yang semuanya berarti agak.
Bahasa Tegal juga lebih bersifat egaliter dan demokratis. Bahasa Tegal tidak mengenal struktur penggunaan bahasa, seperti halnya dalam bahasa Jawa, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko.
Dalam bahasa Tegal hanya dikenal bahasa ngoko dan bebasan, yaitu bahasa yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Seperti kata kowen (kamu) yang kemudian diganti menjadi kata rika atau sampeyan, dan kata durung (belum) yang berubah menjadi dereng.
Oleh karena itu, di tengah upayanya merawat bahasa Tegal, Hadi berharap ada lembaga resmi yang mau dan mampu menangani perkembangan bahasa Tegal. Keberadaan lembaga tersebut untuk menjinakkan keliaran bahasa Tegal sehingga memunculkan pembakuan dalam bahasa tersebut.
Dengan adanya pembakuan, bahasa Tegal bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah sehingga bisa dijadikan sebagai mata pelajaran bagi anak didik di Tegal.
Selama ini pelajaran bahasa daerah yang diterima anak sekolah di Tegal merupakan bahasa Jawa yang biasa digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo.
Hal itu justru membingungkan siswa karena bahasa yang mereka pelajari tak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 1 JUNI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar