Senin, 04 Juni 2012

Suyudi: Sekolah Alam di Tepi Bengawan Solo

SUYUDI
Lahir: Klaten, Jawa Tengah, 17 April 1965
Pendidikan:
- SDN Gondangsari 2, Klaten
- SMPN 1 Juwiring, Klaten
- SMAN1 Sukoharjo, Jawa Tengah 
- S-1 Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas 
  Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah 
Istri: Maryati
Anak: Surya Nur Indrawan

Terdengar suara tawa bocah-bocah mungil yang tangannya menggenggam potongan pepaya. Buah itu berasal dari kebun tempat mereka sehari-hari bermain. Buah itu menjadi "pencuci mulut" seusai mereka makan siang, selepas waktu sekolah. Begitulah suasana sehari-hari Sekolah Alam Bengawan Solo di Dusun Panjangan, Desa Gondangsari, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

OLEH SRI REJEKI

Tak ada kelas dengan bangunan permanen, yang ada hanya deretan saung berbahan bambu dan kayu, atapnya dari daun kelapa. Ini untuk menanamkan pemahaman kepada anak, belajar bisa dilakukan di mana saja. Ada 10 saung di lahan yang berlokasi di bantaran Sungai Bengawan Solo ini.
     Di antara saung itu dibuat kolam ikan terasering mengikuti kontur tanah bantaran yang menurun. Ada pula kebun yang ditanami pepaya, cabai, terung, singkong, tanaman hias, dan aneka tumbuhan lain, juga ayunan dari bambu dan kayu.
     "Membaca berita tentang korupsi yang merajalela, saya ngeri. Saya ingin mengubah bangsa ini, tetapi tidak bisa. Saya realistis saja, mencoba membangun sekolah alam dengan harapan menghasilkan generasi penerus yang mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik," kata Suyudi, pendiri Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS).
     Dia membangun SABS sebagai pengembangan pendidikan anak usia dini (PAUD) Taruna Teladan yang dirintisnya sejak tahun 2005. Ada 16 siswa SABS di kelas 1 SD, sedangkan siswa PAUD mencapai 120 orang yang terbagi dalam kelompok bermain, taman kanak-kanak (TK) A dan TK B.
     Dibantu sembilan guru yang mengajar di PAUD dan tujuh orang yang mengajar di SABS, Suyudi mengolaborasikan idealismenya dan kurikulum pemerintah menjadi kurikulum akhlak, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Ia juga menonjolkan muatan lokal, seperti pertanian dalam arti luas dan pertukangan.
     Desa Gondangsari berbatasan dengan sentra mebel Serenan, Klaten, dan Bulakan, Sukoharjo. Produksi mebel itu merambah mancanegara. Selain mebel, warga juga mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan. Kepada siswa juga di diajarkan mengenal dunia pertanian dengan menanam dan memelihara tanaman, menyirami, memberi pupuk yang dibuat sendiri, serta memanen dan menyantap hasil panen.
     "Generasi muda kita tidak akrab dengan pertanian karena tak dikenalkan sejak kecil," katanya.
    Bagi Suyudi, bercocok tanam harus dilandasi keikhlasan agar mampu mengikis mental koruptif seseorang. "Mentalitas antikorupsi itu dasarnya keikhlasan," tegasnya.
    Untuk biaya operasional PAUD, Suyudi mencukupinya dari iuran pendidikan siswa Rp 80.000 per anak setiap bulan. Sedangkan biaya operasional SABS masih disubsidi kantong pribadinya meski siswa pun membayar Rp 100.000 per bulan, termasuk makan siang, makanan ringan, dan buletin sekolah.
     Pada dua tahun awal operasional PAUD, Suyudi mengaku harus menjual mobil guna menutupi biaya penyelenggaraan pendidikan yang saat itu digratiskan. "Kini setiap bulan subsidi saya Rp 2 juta-Rp 3 juta."
     Sebagai sumber pembiayaan, Suyudi memproduksi alat peraga edukatif (APE). Ia dibantu enam tukang dan tengah mengerjakan 400 set APE pesanan sebuah bank. APE akan dibagikan ke sekolah-sekolah sebagai wujud tanggung jawab sosial bank itu.
     Mampu membuat sendiri APE juga membuat PAUD dan SABS yang dikelola Suyudi tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk kebutuhan alat peraga. Bahkan, untuk bangunan SABS dan perpustakaan pun dikerjakan sendiri dibantu para tukang.

Masa bermain

     Bukan hal mudah memperkenalkan paradigma pendidikan yang dianutnya, seperti tugas guru adalah membimbing dan memfasilitasi siswa, bukan memaksa dan "menyeragamkan" mereka. Suyudi bercerita, orangtua siswa di PAUD dan SABS kerap mempertanyakan perkembangan anak mereka dalam membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Mereka merasa anaknya tak mampu calistung secepat siswa di sekolah formal.
     Di sisi lain, Suyudi dan para guru berpendapat, siswa pada usia PAUD, bahkan sampai kelas III SD, hendaknya tak dibebani materi pembelajaran yang berat, seperti calistung.
     "Ini masa anak bermain sepuasnya sehingga kami lebih menekankan aspek afektif dan psikomotor. Kami juga meniadakan tinggal kelas untuk siswa kelas I-III," ujarnya.
     Penilaian orangtua tentang metode belajar, hasil pendidikan, dan biaya sekolah dituangkan dalam rapor orangtua untuk sekolah. SABS menerapkan waktu sekolah hingga pukul 15.30. Seusai mengunyah materi formal sampai pukul 12.00, siswa diajarkan bercocok tanam, membuat pupuk, atau materi kewirausahaan. Setelah itu, siswa tidur siang. Alam dijadikan media belajar pembentukan karakter anak.
     "Pendidikan karakter itu kuncinya pembiasaan, jadi kita harus mempraktikkannya sehari-hari. Kita tak cukup hanya bicara materi di kelas," kata Suyudi.
     Meski berlokasi di bantaran sungai, fasilitas SABS dan PAUD relatif lengkap, mulai kolam renang sederhana, gazebo, mandi bola, hingga perlengkapan drumband, komputer, dan internet.
     Tak hanya  menggarap pendidikan siswa, tetapi ia juga ingin mengembangkan keterampilan dan pengetahuan orangtua lewat kegiatan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Taruna Teladan yang didirikannya tahun 2006. Beberapa kegiatan di PKBM adalah pelatihan pembuatan APE, batik kayu, kelompok belajar paket C, dan PAUD.
     Kolam ikan yang dibuat di tengah area SABS juga digunakan untuk memelihara ikan lele, nila merah, dan gurame. Suyudi berharap, adanya ikan di kolam itu mengubah kebiasaan warga menyebar racun di sungai untuk memperoleh ikan. Mereka bisa mengambil ikan di kolam.
     Sedangkan di daratan yang muncul saat musim kemarau ditanami sayuran. Warga diberi pelatihan cara beternak ikan dan menanam sayuran. Selain sebagai sarana belajar siswa dan pemberdayaan warga, keberadaan kolam ikan dan kebun sayur pun menambah penghasilan guru yang sebagian besar berijazah S-1.
     Meski berlatar belakang perajin mebel, Suyudi menyenangi dunia pendidikan. Hasrat dan semangat itulah yang membuat dia membuka sekolah ia bercerita, sebelumnya, selama tiga tahun, ia bekerja di perusahaan mebel milik orang asing. Dia lalu memutuskan mendirikan usaha mebel sendiri, dan produknya sempat diekspor ke Jerman. Belakangan, ia berusaha memenuhi kebutuhan pasar domestik dan APE.
     "Saya ingin menunjukkan, pendidikan itu tak harus menunggu bantuan pemerintah atau orang yang punya uang. PKBM juga bisa menyelenggarakan pendidikan jika diberi kesempatan, justru tujuannya tidak berorientasi keuntungan materi," kata Suyudi menegaskan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 JUNI 2012

1 komentar:

  1. semangat bapak. saya sudah lama merindukan sekolah seperti itu.tapi belum berjodoh. semoga segera didekatkan dengan sekolah seperti SABS

    BalasHapus