Selasa, 12 Juni 2012

Kristantina Indriastuti: Srikandi Megalitikum Basemah

KRISTANTINA INDRIASTUTI
Lahir: Magelang, Jawa Tengah, 1975
Suami: Rai Arsadana Putra (40)
 Anak:
- Dewa Bagus Odie (17)
-  Dewa Agung Yogie (16)
Pendidikan:
- SD Protobangsan 2 Magelang 
- SMPN I Magelang
- SMAN I Magelang
- Sarjana Arkeologi Universitas Gadjah Mada
Pekerjaan: Peneliti di Balai Arkeologi Palembang sejak 2008

Sejarah tak semestinya diabaikan karena di sini tersimpan nilai-nilai yang membentuk jati diri bangsa. Pemikiran ini menjadi semangat arkeolog Kristantina Indriastuti untuk bertualang pada era megalitikum di kawasan Basemah, Sumatera Selatan. Baginya, mengungkap masa lalu adalah upaya tak lekang waktu guna mengingat kembali nilai-nilai itu.

OLEH IRENE SARWINDANINGRUM

Dengan pemikiran itu pula, arkeolog yang akrab disapa Tanti ini mencoba memaknai tugasnya sebagai peneliti bidang prasejarah di Balai Arkeolog (Balar) Palembang. Sejak tahun 2009-2012, ia rutin meneliti ratusan peninggalan megalitikum di Basemah, sebutan untuk daerah kaki Gunung Dempo, Sumatera Selatan (Sumsel). Kawasan itu meliputi sebagian Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam.
     Dalam penelitiannya, ia menemukan petualangan dalam arti sesungguhnya. Medan yang sulit mesti dia tempuh guna mencapai lokasi situs yang tersebar di antara kebun kopi, sayuran, sawah, dan perbukitan terjal. Konflik dengan warga lokal pun menjadi santapan "biasa" baginya.
     Salah satu konflik itu terekam pada malam terakhir ekskavasinya di Jangkarmas, Kota Pagar Alam, Mei. Pemilik lahan lokasi ekskavasi marah karena tim arkeolog mengangkat dua tempayan kubur yang telah sepekan mereka ekskavasi. Kemarahan itu diwujudkan lewat cacian dan tuduhan pencurian.
     Pemilik lahan menuntut tempayan dikembalikan. Dua tempayan yang diperkirakan berusia 1.000 tahun itu rencananya dibawa ke kantor Balar Palembang guna diteliti lebih lanjut. Meski sebelumnya si pemilik telah memberi izin, bahkan tampak antusias terhadap penelitian ini.
     Ketegangan itu berlangsung dari siang hingga malam hari. Sebagai ketua tim arkeolog, Tanti harus menghadapinya. Sepanjang kemarahan dilontarkan, ia lebih banyak diam, meminta maaf seraya memberi penjelasan tentang tujuan penelitian. Ia lalu menawarkan ganti rugi.
     Ketegangan pun reda setelah pemilik lahan bersedia menerima ganti rugi dan penjelasan Tanti. "Kami harus sabar menghadapi kejadian seperti ini, yang penting tempayan kuburnya bisa dibawa ke Palembang," ucap Tanti yang lega karena ekskavasi 10 hari itu tak sia-sia.

Pemahaman warga

     Kejadian itu hanya satu dari sejumlah kesulitan yang dihadapinya. Konflik dengan warga  sering timbul karena pemahaman warga akan pentingnya penelitian megalitikum masih terbatas. Untuk meredam konflik, membuka pemahaman warga akan pentingnya penelitian perlu dilakukan.
     "Sebagai arkeolog, kami harus pandai-pandai menjelaskan hal itu kepada mereka. Sebagian warga bisa menerimanya dan memberi dukungan. Mereka juga menghargai warisan leluhur itu," kata Tanti.
     Beragam upaya mendekati warga dicobanya. Hal itu, misalnya, Tanti dan tim menginap di rumah warga meski fasilitasnya jauh dari kenyamanan penginapan. Namun, cara ini memudahkan dia menularkan pengetahuan kepada warga. Ia juga tak melarang warga melihat ekskavasi dan menjawab pertanyaan mereka di sela-sela kegiatannya.
     Membuka akses pengetahuan megalitikum kepada warga diharapkan menumbuhkan penghargaan mereka terhadap peninggalan prasejarah di daerahnya dan kemauan untuk ikut melestarikannya.
     Tanti dan tim juga bertemu para kepala daerah guna memberi masukan terakhir temuan megalitikum. Tujuannya, menggugah perhatian pemerintah daerah terhadap situs-situs tersebut. Upayanya mendapat tanggapan positif dari Pemda Lahat dan Pagar Alam yang melihat situs megalitikum sebagai potensi wisata.

Terpukau masa lalu

     Detil kehidupan masa lalu di situs megalitikum Basemah membuat Tanti kagum. Di sini tersirat nilai-nilai bermasyarakat dan daya seni tinggi dari leluhur di sekitar kaki Gunung Dempo.
     "Secara kasat mata, peninggalan itu mencerminkan semangat kegotong- royongan dan kerja sama yang baik. Di sini terlihat betapa kebersamaan dan toleransi telah melandasi kehidupan masyarakat di Indonesia sejak lama," katanya.
     Tingginya rasa seni leluhur terlihat dari beragam pahatan arca megalitikum hingga goresan lukisan dinding di bilik-bilik batu di daerah itu. Guratan dan garis terlihat begitu ekspresif, padahal alat yang digunakan saat itu masih sederhana.
     Salah satu temuan terbaru adalah raut lelaki yang terpahat di dinding batu air terjun di perbukitan Pagar Alam. Sejumlah karya dan penempatannya terpusat pada Gunung Dempo. Ini memperlihatkan eratnya hubungan manusia dengan alam.
     Tanti yang selalu berbekal ikan asin saat perjalanan ekskavasi itu mulai meneliti megalitikum Basemah saat masih di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Jakarta pada 2004. Saat mulai di tempatkan di Balar Palembang tahun 2008, ia mengajukan penelitian megalitikum Basemah.
     Tahun 2009 hingga kini ia melakukan penelitian di Basemah secara rutin. Di bangku kuliah, ibu dua anak ini meneliti perkampungan megalitikum Ngada di Flores sebagai tugas akhir.
     Ketertarikan Tanti pada megalitikum di Basemah karena masih banyaknya teka-teki yang belum terjawab. "Megalitikum Basemah sudah banyak diteliti dan didokumentasikan ilmuwan Belanda sejak 1930-an, tapi masih banyak hal yang belum pasti. Selain itu, banyak juga temuan baru bermunculan dan ini butuh penelitian," katanya.
     Rangkaian penelitiannya di Basemah membuka sejumlah fakta baru. Salah satunya mengenai usia megalitikum  Basemah yang awalnya diduga sekitar 2.500 tahun karena disamakan dengan usia budaya megalitikum umumnya. Namun, uji penanggalan karbon pada beberapa arang yang ditemukan tahun 2011 menunjukkan usia yang "baru" 1.000-1.600 tahun.
     Hasil penanggalan karbon itu menimbulkan dugaan baru, kebudayaan megalitikum di Basemah berlangsung sekitar abad ke-6-10 Masehi atau bersamaan dengan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat sekitar 100 kilometer dari Gunung Dempo.
     "Jika memang benar, artinya saat itu di Sumsel berkembang dua budaya yang berbeda. Kebudayaan maritim Sriwijaya tumbuh di daerah sekitar aliran sungai, sedangkan budaya megalitikum bertahan di kawasan pegunungan," katanya.
     Penelitian itu juga mendata dan memetakan sebaran situs megalitikum Basemah yang mencapai 420 temuan. Temuan-temuan itu di antaranya bilik batu, arca, dolmen, lukisan dinding, lesung batu, dan tempayan kubur.
     Temuan-temuan baru pun masih dilaporkan warga. Banyaknya temuan itu membuat Basemah memiliki situs megalitikum terkaya di Indonesia. Ibarat Srikandi, Tanti tak gentar menghadapi petualangan-petualangan baru di situs megalitikum Basemah.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 12 JUNI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar