EKO EDI SUSANTO
Lahir: Mojokerto, Jawa Timur, 1 Mei 1958
Pendidikan:
- SDN Canggu, Mojokerto,
- SMPN 2 Mojokerto, 1974
- SMA Sooko, Mojokerto, 1978
- S-1 Pendidikan Luar Sekolah, 1989
- S-2 Ilmu Komunikasi, 2002
Istri: Muji Suhartini
Anak:
- Eva Angelia Sandra
- Anjarsari Ayuwangi
- Intan Ardianti
- Nizar Pravianto
Pekerjaan:
- Staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mojokerto, 1980-1988
- Penilik Pembinaan Generasi Muda Dikbud Kecamatan Magersari, 1988-1997
- Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Dikbud Kota Mojokerto, 1997-2001
- Kepala Cabang Dinas Dikbud Magersari, 2001-2009
- Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Bidang Pendidikan SMP, SMA, SMK Dinas
Pendidikan kota Mojokerto, 2009-2011
- Kepala Bidang Pendidikan TK dan SD Dinas Pendidikan Kota Mojokerto,
2011-kini
- Pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto, 1993-kini
- Ketua Dewan Kesenian kabupaten Mojokerto, 2009-2013.
Sejak tahun 1993, Eko Edy Susanto menjadi pemimpin ludruk Karya Budaya Mojokerto. Sebagai kesenian tradisional, ludruk mengalami pasang surut. Namun, dia tetap berusaha agar ludruk setidaknya bisa menghidupi anggotanya. Meski merasa belum sepenuhnya berhasil, dia mampu membuat ludruk Karya Budaya bertahan.
OLEH ABDUL LATHIF
Hasilnya, tahun 2010 ludruk Karya Budaya mendapat penghargaan khusus dari Gubernur Jawa Timur sebagai lembaga peduli seni. Perkumpoulan ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya ludruk yang memperhatikan kesejahteraan anggotanya.
Sebagai pemimpin ludruk Karya Budaya, Eko Edy Susanto yang akrab disapa Cak Edy Karya berusaha membuat anggota tetap setia pada kesenian ludruk. Salah satu cara yang dijalankan adalah memberi uang pinjaman, bantuan kematian, dan tunjangan hari raya. Kebijakan ini dilakukannya sejak tahun 1995.
"Setiap kali kami manggung untuk hajatan, seperti perkawinan, sunatan, dan ruwatan desa, hasilnya disishkan untuk keperluan tunjangan hari raya dan pinjaman bagi anggota," ucapnya.
Ia mengungkapkan, rata-rata per tahun ludruk Karya Budaya menerima tawaran manggung 130 kali dengan tarif bervariasi, bergantung pada jauh-dekatnya acara digelar. Misalnya untuk sekitar Mojokerto, termasuk Gresik, Surabaya, dan Sidoarjo, tarifnya Rp 9 juta-Rp 12 juta. Seangkan untuk manggung di luar kota, misalnya di Malang, tarifnya Rp 17 juta-Rp 18,5 juta.
"Tahun-tahun sebelumnya, kami sempat manggung sampai 160 kali dalam setahun, tetapi sejak tahun 2004 rata-rata kami tampil 130 kali per tahun," katanya.
Dalam perhitungan kasar, dengan rata-rata tarif sekali manggung Rp 10 juta, penghasilan ludruk Karya Budaya mencapai Rp 1,3 miliar per tahun. "Akhir 2011 ludruk Karya Budaya bisa memebrikan bonus akhir tahun Rp 1 juta untuk setiap pemain. Saya berharap pemain ludruk bia menjadikan uang itu sebagai modal usaha kecil-kecilan," katanya.
Tunjangan ahri raya bagi pemain besarnya Rp 200.000 per orang. Jika ada pemain yang sakit, ia akan menerima bantuan pengobatan Rp 500.000. Kalau ada anggota ludruk yang meninggal pun, ia berusaha memberikan uang duka.
Ia mengakui, dengan segala kebijakan itu, sebenarnya dia belum mampu membuat hidup pemain ludruk sejahtera. Di sisi lain, bayaran pemain ludruk setiap kali pentas bervariasi Rp 50.000-Rp 150.000.
Bagaimanapun Cak Edy Karya merasa bersyukur. Alasannya, ludruk Karya Budaya yang beranggotakan 67 orang itu tetap bertahan hingga kini.
"Saingan utama kesenian tradisional seperti ludruk adalah hiburan di televisi, termasuk lawakan. Oleh karena itulah, agar ludruk tidak ditinggalkan penontonnya, kami harus kreatif," katanya.
Ludruk Karya Budaya lalu membuat berbagai program pelatihan agar kualitas pementasan mereka meningkat. Hal itu, misalnya, program pelatihan tari, teater, dan karawitan.
Bagi Cak Edy Karya, keberadaan ludruk Karya Budaya tak hanya penting bagi anggotanya, tetapi juga memberi penghidupan bagi pihak lain. Ia memberi contoh, bila ludruk manggung, di sekitar tempat acara itu digelar dipenuhi pedagang keliling yang menjajakan mulai dari makanan, mainan, sampai pakaian.
"Kalau sudah begitu, ada rasa bangga karena ludruk tidak hanya menghibur orang yang punya hajat dan tamu-tamunya, tetapi pedagang keliling juga kecipratan rejeki," katanya.
Setiap kali ludruk Karya Budaya manggung, lebih dari 60 pedagang kecil berjualan di sekitar tempat pertunjukan. "Rata-rata pedagang keliling bisa membawa pulang uang Rp 100.000," ceritanya.
Ludruk bukan hal baru dalam kehidupan Cak Edy Karya, sang ayah, Cak Bantu, adalah salah seorang pendiri ludruk Karya Budaya. Namun, seperti umumnya anak muda, ia bersekolah, lalu bekerja sebagai pegawai. Jalan hidup itu ditempuhnya antara lain karena sang ayah tak ingin anaknya menjadikan ludruk sebagai pilihan hidup.
Bahkan, Cak Bantu sempat berpesan, bila dia meninggal dunia, jangan ada anaknya yang menjadi pemimpin ludruk. Namun, pesan Cak Bantu rupanya tak terpenuhi sebab sepeninggal Cak Bantu pada usia 67 tahun, justru anaknya yang menjadi pimpinan ludruk.
"Bapak sempat berpesan 'Kalau saya mati, jangan sampai anak saya memimpin ludruk'," cerita Cak Edy Karya menirukan ucapan ayahnya. Faktanya, justru anaknyalah yang menjadi pemimpin Karya Budaya.
"Awalnya, saya tidak berniat menjadi pemimpin ludruk. Tetapi karena permintaan anggota agar anaknya Cak Bantu yang memimpin ludruk, saya bersedia. Niat saya menyelamatkan ludruk ini, sayang kalau sampai bubar," kata bapak empat anak dan kakek tiga cucu yang tinggal di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, ini. Jadilah ia memimpin ludruk sejak tahun 1993.
Mulai saat itulah, dia terlibat langsung dalam denyut kehidupan perkumpulan ludruk yang berdiri sejak 29 Mei 1969 itu. Ludruk Karya Budaya didirikan Cak Bantu, Cak Suwadi, Cak Tari, dan Cak Tohir. Keberadaan ludruk tak semata keinginan keempat orang pendirinya, tetapi warga Desa Canggu juga menghendakinya.
"Sebelum tahun 1965, di Desa Canggu banyak perkumpulan ludruk. Namun, kelompok-kelompok ludruk itu dibubarkan karena dianggap Lekra (berkaitan dengan PKI)," katanya.
Seiring waktu, perubahan politik pun berlangsung di Tanah Air. Warga Desa Canggu kembali berharap menikmati ludruk dengan lakon-lakon kepahlawanan saat rakyat melawan penjajah Belanda, seperti "Sarip Tambakyoso" dan "Sakerah".
Hidup segan
Tahun 1969-1970 keberadaan ludruk Karya Budaya bisa dikatakan hidup segan mati tak mau. Keadaan berubah pada 1971 bersamaan dengan kampanye Partai Golkar. Ludruk Karya Budaya lalu menjadi bagian dari media kampanye Golkar untuk menarik simpati masyarakat.
"Selama 40 hari ludruk menjadi media kampanye Golkar. Bagi komunitas ludruk sendiri, ini sarana promosi memperkenalkan keberadaan Karya Budaya kepada masyarakat," katanya.
Eksistensi ludruk Karya Budaya berada di pundak Cak Edy Karya. Selain upaya promosi dari mulut ke mulut, ia menjadikan pentas di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya dan di Taman Krida Budaya di Malang sebagai wadah bagi masyarakat yang ingin menikmati ludruk.
"Biar ludruk Karya Budaya terus eksis, saya juga berpromosi lewat koran lokal dan berusaha memberitakan setiap kegiatan kami seperti saat mau pentas di anjungan Jatim di Taman mini Indonesia indah, Jakarta," katanya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 31 MEI 2012
- SMPN 2 Mojokerto, 1974
- SMA Sooko, Mojokerto, 1978
- S-1 Pendidikan Luar Sekolah, 1989
- S-2 Ilmu Komunikasi, 2002
Istri: Muji Suhartini
Anak:
- Eva Angelia Sandra
- Anjarsari Ayuwangi
- Intan Ardianti
- Nizar Pravianto
Pekerjaan:
- Staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mojokerto, 1980-1988
- Penilik Pembinaan Generasi Muda Dikbud Kecamatan Magersari, 1988-1997
- Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Dikbud Kota Mojokerto, 1997-2001
- Kepala Cabang Dinas Dikbud Magersari, 2001-2009
- Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Bidang Pendidikan SMP, SMA, SMK Dinas
Pendidikan kota Mojokerto, 2009-2011
- Kepala Bidang Pendidikan TK dan SD Dinas Pendidikan Kota Mojokerto,
2011-kini
- Pimpinan Ludruk Karya Budaya Mojokerto, 1993-kini
- Ketua Dewan Kesenian kabupaten Mojokerto, 2009-2013.
Sejak tahun 1993, Eko Edy Susanto menjadi pemimpin ludruk Karya Budaya Mojokerto. Sebagai kesenian tradisional, ludruk mengalami pasang surut. Namun, dia tetap berusaha agar ludruk setidaknya bisa menghidupi anggotanya. Meski merasa belum sepenuhnya berhasil, dia mampu membuat ludruk Karya Budaya bertahan.
OLEH ABDUL LATHIF
Hasilnya, tahun 2010 ludruk Karya Budaya mendapat penghargaan khusus dari Gubernur Jawa Timur sebagai lembaga peduli seni. Perkumpoulan ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya ludruk yang memperhatikan kesejahteraan anggotanya.
Sebagai pemimpin ludruk Karya Budaya, Eko Edy Susanto yang akrab disapa Cak Edy Karya berusaha membuat anggota tetap setia pada kesenian ludruk. Salah satu cara yang dijalankan adalah memberi uang pinjaman, bantuan kematian, dan tunjangan hari raya. Kebijakan ini dilakukannya sejak tahun 1995.
"Setiap kali kami manggung untuk hajatan, seperti perkawinan, sunatan, dan ruwatan desa, hasilnya disishkan untuk keperluan tunjangan hari raya dan pinjaman bagi anggota," ucapnya.
Ia mengungkapkan, rata-rata per tahun ludruk Karya Budaya menerima tawaran manggung 130 kali dengan tarif bervariasi, bergantung pada jauh-dekatnya acara digelar. Misalnya untuk sekitar Mojokerto, termasuk Gresik, Surabaya, dan Sidoarjo, tarifnya Rp 9 juta-Rp 12 juta. Seangkan untuk manggung di luar kota, misalnya di Malang, tarifnya Rp 17 juta-Rp 18,5 juta.
"Tahun-tahun sebelumnya, kami sempat manggung sampai 160 kali dalam setahun, tetapi sejak tahun 2004 rata-rata kami tampil 130 kali per tahun," katanya.
Dalam perhitungan kasar, dengan rata-rata tarif sekali manggung Rp 10 juta, penghasilan ludruk Karya Budaya mencapai Rp 1,3 miliar per tahun. "Akhir 2011 ludruk Karya Budaya bisa memebrikan bonus akhir tahun Rp 1 juta untuk setiap pemain. Saya berharap pemain ludruk bia menjadikan uang itu sebagai modal usaha kecil-kecilan," katanya.
Tunjangan ahri raya bagi pemain besarnya Rp 200.000 per orang. Jika ada pemain yang sakit, ia akan menerima bantuan pengobatan Rp 500.000. Kalau ada anggota ludruk yang meninggal pun, ia berusaha memberikan uang duka.
Ia mengakui, dengan segala kebijakan itu, sebenarnya dia belum mampu membuat hidup pemain ludruk sejahtera. Di sisi lain, bayaran pemain ludruk setiap kali pentas bervariasi Rp 50.000-Rp 150.000.
Bagaimanapun Cak Edy Karya merasa bersyukur. Alasannya, ludruk Karya Budaya yang beranggotakan 67 orang itu tetap bertahan hingga kini.
"Saingan utama kesenian tradisional seperti ludruk adalah hiburan di televisi, termasuk lawakan. Oleh karena itulah, agar ludruk tidak ditinggalkan penontonnya, kami harus kreatif," katanya.
Ludruk Karya Budaya lalu membuat berbagai program pelatihan agar kualitas pementasan mereka meningkat. Hal itu, misalnya, program pelatihan tari, teater, dan karawitan.
Bagi Cak Edy Karya, keberadaan ludruk Karya Budaya tak hanya penting bagi anggotanya, tetapi juga memberi penghidupan bagi pihak lain. Ia memberi contoh, bila ludruk manggung, di sekitar tempat acara itu digelar dipenuhi pedagang keliling yang menjajakan mulai dari makanan, mainan, sampai pakaian.
"Kalau sudah begitu, ada rasa bangga karena ludruk tidak hanya menghibur orang yang punya hajat dan tamu-tamunya, tetapi pedagang keliling juga kecipratan rejeki," katanya.
Setiap kali ludruk Karya Budaya manggung, lebih dari 60 pedagang kecil berjualan di sekitar tempat pertunjukan. "Rata-rata pedagang keliling bisa membawa pulang uang Rp 100.000," ceritanya.
Ludruk bukan hal baru dalam kehidupan Cak Edy Karya, sang ayah, Cak Bantu, adalah salah seorang pendiri ludruk Karya Budaya. Namun, seperti umumnya anak muda, ia bersekolah, lalu bekerja sebagai pegawai. Jalan hidup itu ditempuhnya antara lain karena sang ayah tak ingin anaknya menjadikan ludruk sebagai pilihan hidup.
Bahkan, Cak Bantu sempat berpesan, bila dia meninggal dunia, jangan ada anaknya yang menjadi pemimpin ludruk. Namun, pesan Cak Bantu rupanya tak terpenuhi sebab sepeninggal Cak Bantu pada usia 67 tahun, justru anaknya yang menjadi pimpinan ludruk.
"Bapak sempat berpesan 'Kalau saya mati, jangan sampai anak saya memimpin ludruk'," cerita Cak Edy Karya menirukan ucapan ayahnya. Faktanya, justru anaknyalah yang menjadi pemimpin Karya Budaya.
"Awalnya, saya tidak berniat menjadi pemimpin ludruk. Tetapi karena permintaan anggota agar anaknya Cak Bantu yang memimpin ludruk, saya bersedia. Niat saya menyelamatkan ludruk ini, sayang kalau sampai bubar," kata bapak empat anak dan kakek tiga cucu yang tinggal di Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, ini. Jadilah ia memimpin ludruk sejak tahun 1993.
Mulai saat itulah, dia terlibat langsung dalam denyut kehidupan perkumpulan ludruk yang berdiri sejak 29 Mei 1969 itu. Ludruk Karya Budaya didirikan Cak Bantu, Cak Suwadi, Cak Tari, dan Cak Tohir. Keberadaan ludruk tak semata keinginan keempat orang pendirinya, tetapi warga Desa Canggu juga menghendakinya.
"Sebelum tahun 1965, di Desa Canggu banyak perkumpulan ludruk. Namun, kelompok-kelompok ludruk itu dibubarkan karena dianggap Lekra (berkaitan dengan PKI)," katanya.
Seiring waktu, perubahan politik pun berlangsung di Tanah Air. Warga Desa Canggu kembali berharap menikmati ludruk dengan lakon-lakon kepahlawanan saat rakyat melawan penjajah Belanda, seperti "Sarip Tambakyoso" dan "Sakerah".
Hidup segan
Tahun 1969-1970 keberadaan ludruk Karya Budaya bisa dikatakan hidup segan mati tak mau. Keadaan berubah pada 1971 bersamaan dengan kampanye Partai Golkar. Ludruk Karya Budaya lalu menjadi bagian dari media kampanye Golkar untuk menarik simpati masyarakat.
"Selama 40 hari ludruk menjadi media kampanye Golkar. Bagi komunitas ludruk sendiri, ini sarana promosi memperkenalkan keberadaan Karya Budaya kepada masyarakat," katanya.
Eksistensi ludruk Karya Budaya berada di pundak Cak Edy Karya. Selain upaya promosi dari mulut ke mulut, ia menjadikan pentas di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya dan di Taman Krida Budaya di Malang sebagai wadah bagi masyarakat yang ingin menikmati ludruk.
"Biar ludruk Karya Budaya terus eksis, saya juga berpromosi lewat koran lokal dan berusaha memberitakan setiap kegiatan kami seperti saat mau pentas di anjungan Jatim di Taman mini Indonesia indah, Jakarta," katanya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 31 MEI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar