IWAN ABDULRACHMAN, IR H
Lahir: Sumedang, 3 September 1947
Alumnus Universitas Padjadjaran, Fakultas Pertanian, angkatan 1965, kini Dewan Penyantun Universitas Padjadjaran
Pendidikan Tambahan:
- Pendidikan dan latihan Long Range Patrol kualifikasi Recondo, di LR Patrol
School, Alabama, AS, 1986
- Close Combat Quarter Course, Nevada, AS, 1996
Karya lagu, antara lain:
- "Melati Jayagiri", Flamboyan", dibawakan oleh Bimbo
- "Burung Camar" bersama Aryono, dibawakan Vina Panduwinata
- Hymne Siliwangi
Penghargaan lain:
- Anugerah Kebudayaan dari negara, 2009
- Satyalancana Wirakarya dari Presiden Republik Indonesia, 2007
- Warga Kehormatan Kopassus,1996
- Penghargaan Kawakami Prize, World Song Festival di Tokyo, Jepang, untuk
lirik lagu "Burung Camar", 1985
Aula Grha Sanusi Hardjadinata di Kampus Universitas Padjadjaran, Bandung, Minggu (20/5) malam, dipenuhi puluhan bibit pinus siap tanam dan gegap gempita suara kor, piano, dan gitar ketika Grup Pecinta Lagu Unpad berpentas.
OLEH JIMMY S HARIANTO
"Wooyow, wooyow, Yeaaaah....."
Lirik lagu Afrika "Tanggoyama" itu membahana memenuhi isi ruangan. dan tentunya juga memenuhi ruang hati penonton yang umumnya adalah mahasiswa, guru, dosen, alumni, dan tentu juga Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Ganjar Kurnia.
Ya, lagu-lagu pilihan Iwan Abdulrachman (65)-yang dulu dikenal sebagai salah satu personel grup musik asli Bandung, Bimbo, bersama Sam, Acil, Jaka, dan Iin Parlina-memang selalu gegap gempita, membahana, dan "jantan" jika bersama paaduan suara. Tak beda jauh dengan suasana membahana yang diciptakan Grup Pecinta Lagu Unpad (GPL Unpad) 40 tahun silam ketika mereka pertama lahir dan pentas di depan publik seperti di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Hanya sedikit penambahan warna. Jika pada dekade 1970-an dan 1980-an GPL Unpad tampil macho, cowok doang, dan menggelegar, kini geletarnya lebih berwarna-warni. Ada penyanyi perempuan serta anggota kor kampus kebanggaan Unpad kini.
"Kami tampilkan adik-adik kami, Paduan Suara Mahasiswa Unpad, yang menjuarai berbagai festival dunia," ungkap Iwan Abdulrachman. Seperti biasa, penampilannya selalu diiringi dengan canda khas Sunda serta tutur cerita seputar pengalamannya bergaul dengan lagu, berkomunikasi dengan sesama melalui lagu, persis seperti kebiasaan GPL empat dasawarsa silam.
"Akan tetapi, sungguh tidak mudah mengumpulkan mereka lagi," tambah Abah Iwan, panggilan akrabnya di kalangan teman-temannya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya. Setelah 40 tahun bernyanyi, banyak di antara anggota GPL yang bergelut dengan profesi masing-maing.
"Mestinya kami ini Grup Abah-abah Pencinta Lagu, GAPL..." kata Abah Iwan berseloroh tentang grup lamanya, yang kini anggotanya umumnya berusia 60 tahun keatas.
Gitaris di samping abah Iwan, Atje M Darjan, misalnya, Alumnus Fakultas Eknomi Unpad ini sehari-hari adalah Direktur Utama PN Kertas Padalarang. Gitaris di sebelahnya lagi, Wawan Sukarya, adalah dokter spesialis kandungan yang tentu sehari-hari tak lagi memeluk gitar seperti dulu ketika masih mahasiswa di Unpad.
Di sebelahnya lagi, bermain gitar sambil bernyanyi, ada psikolog Sony Yuwono. Ada juga Boentje Harbunangin, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.
"Yudi berhalangan, sedang di Halmahera, dia menitipkan salam," ungkap Abah Iwan tentang salah seorang anggota grup yang tak bisa hadir. Yang juga absen adalah gitaris Albert Warnerin, rocker dan gitaris terkenal Indonesia di tahun 1980-an yang kini sibuk jadi pengacara di Jakarta. Juga tak hadir vokalis serta gitaris grup rock terkenal pada masanya, Benny Soebardja, yang tengah berada di Belanda.
Akan tetapi, lagu-lagu berirama blues ciptaan Albert Warnerin, "Liar", dan "Babe", sempat dinyanyikan. Vokalis bluesnya adalah Erlan Effendi, lulusan Fakultas Pertanian angkatan 1979. Suaranya tidak kalah dengan penyanyi-penyanyi blues kondang.
Di balik piano, ada alumnus Fakultas Ekonomi 1978, Indra Rivai, yang juga dikenal sebagai arranger lagu-lagu grup musik Bimbo.
"Praktis kami hanya berlatih tiga minggu tiga kali pertemuan," tutur Iwan Abdulrachman, yang memakai baret merah ketika menyanyikan lagu ciptaannya sendiri, "Balada Prajurit".
Jika belakangan ini orang sering diusik dengan ulah kekerasan oknum prajurit, Iwan melihat hal lain. Dalam lagunya, ia coba mengangkat suasana hati seorang prajurit yang terkurung di dalam tank di padang pasir, melantunkan doanya kepada sang ibu, sebelum ia menemui ajal.
"Abah Iwan orangnya konsisten dengan apa yang ia sampaikan. Disiplin, keras, tapi juga lembut dan selalu respek dengan orang lain. Ia melatih nilai-nilai kebersamaan dalam menyanyi di GPL," ungkap Eric Martialis, lulusan Fakultas Pertanian 1974 yang bertugas rangkap sebagai koordinator GPL sekaligus semacam event organizer (EO) untuk pentas "40 Tahun GPL Unpad" di Aula Grha Sanusi Hardjadinata, tempat pertama kali GPL 40 tahun silam berpentas.
Sebanyak 13 lagu dilantunkan GPL dan PSM Unpad, mulai dari yang berbahasa Ibrani sampai lagu Afrika dan berbagai belahan dunia, seperti "Hine Ma Tov", "Hava Nagila", "Swing Low", "haben Ya kirli", dan lagu terkenal dalam album solo Iwan Abdulrachman, "Mentari".
Bergelut dengan alam
Hampir sepanjang hidup Abah Iwan-yang pada masa mahasiswa dikenal dengan julukan Iwan Ompong karena giginya ompong akibat naik gunung- selalu bergulat dengan alam. Tak hanya suka mendaki gunung, ia juga sering membawa gitarnya sembari naik gunung. Misalnya, saat ikut tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri di Lembah Danau-danau, Pegunungan Jayawijaya, Papua, April 2010. Abah Iwan "berkonser" menyanyikan 13 lagu di ketinggian 4.250 meter di atas permukaan laut.
Tak kurang uniknya, pengalaman Abah Iwan di Kilimanjaro, Afrika, saat mengikuti ekspedisi yang sama.
Seorang porter (pembawa barang, orang lokal) Afrika sampai menjulukinya "Suaramu seperti singa".
Suatu ketika, April 2006, bersama tiga orang lain-termasuk Kompas-si Abah "berkonser" di depan padang rumput, pepohonan, serta awan dan kesunyian kaki gunung di antara Gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang, Lembah Cicaruk-tempat kegemarannya saat menyendiri dan menyanyi-di kaki gunung yang semula ramai dengan kicauan burung pun senyap dalam kesepian. Mereka seperti mendengarkan Abah Iwan bernyanyi dengan gitarnya, duduk di atas sebuah dingklik (kursi kayu beralas persegi empat) yang ia bawa dari rumah.
Awan yang menyelimuti pucuk Gunung Burangrang tiba-tiba turun seperti menyambut nyanyian dan gitar si Abah.
"Saya menyanyi untuk rerumputan dan pepohonan di lembah," ungkap si abah mengenai konsernya, enam tahun silam.
Tak heran jika di setiap akhir konsernya si pencinta alam ini pun membagi-bagikan bibit pohon pinus untuk ditanam para pengunjungnya. Seperti terjadi pada Minggu malam itu di Aula Unpad, puluhan bibit pohon pinus yang siap ditanam pun ramai diserbu pengunjung. Jika nanti pinus-pinus itu tumbuh tegap, mereka akan selalu ingat konser Abah Iwan.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 23 MEI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar