Senin, 25 Juni 2012

Mike Toam: Menuai Prestasi dari Ulat Sagu

MIKE JUNETH CHRISTIN TOAM
Lahir: Sentani, kabupaten Jayapura, Papua, 21 juni 1994
Pendidikan:
- SMAN 3 Jayapura, 2009-kini
- SMPN 2 Sentani, 2006-2009
- SD Inpres Abeale 1, 2000-2006
Penghargaan:
- Juara Tiga Kategori Ilmu Alam pada Konferensi internasional Peneliti Muda di
  Nijmegen, Belanda, 2012
- Juara Pertama Lomba Peneliti Belia Papua, 2011

Dari Papua, Mike Toam, anak muda yang bernama lengkap Mike Juneth Christin Toam, berhasil meraih prestasi pada Konferensi Internasional Peneliti Muda di Nijmegen, Belanda, pertengahan April 2012. Prestasi itu diraihnya lewat penelitian ulat sagu dan pengolahannya menjadi bahan campuran beragam makanan.

OLEH KORNELIS KEWA AMA/A PONCO ANGGORO

Spageti, roti lapis (sandwich), serta nasi goreng dan bakso, semua menggunakan bumbu ulat sagu. Itulah kreativitas yang diciptakan Mike, siswi kelas III SMAN 3 Jayapura, yang dilombakan pada konferensi di Belanda. 
     Lewat bumbu ulat sagu, remaja berusia 17 tahun ini meraih juara III kategori ilmu alam pada konferensi yang diikuti 150 pelajar dari 22 negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Eropa.
    Karya Mike terkesan "aneh", tetapi justru dengan cara itu cita rasa baru makanan bisa tercipta. Makanan lebih bergizi dan bisa menghilangkan perasaan jijik, terutama bagi mereka yang tak biasa makan ulat sagu.
     Ulat sagu yang berwarna putih kecoklatan, bertekstur lembut, dan memiliki kepala keras merupakan jenis ulat yang hanya ditemui pada tanaman sagu. Di Indonesia, tanaman sagu banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, yaitu Papua, Maluku, dan Maluku Utara.
     Selain sagu yang menjadi pangan pokok sebagian masyarakat kawasan itu, ulat sagu pun mereka konsumsi, terutama oleh warga di pedesaan. Mereka biasa mengonsumsi langsung ulat itu  ataupun memasaknya lebih dulu.
     Ulat sagu sebagai salah satu makanan khas Papua itulah yang diangkat Mike dan dipopulerkannya. Apalagi kaum muda Papua, terutama yang tinggal di perkotaan, cenderung tak lagi mengenal ulat sagu. Mereka pun tak pernah mengonsumsinya.
     "Sebelum memutuskan mengangkat ulat sagu, saya sempat terpikir mengangkat tanaman sagu. Namun, tak jadi karena banyak orang sudah tahu tanaman itu," ujar perempuan yang menyenangi ilmu biologi ini.
     Mengolah ulat sagu menjadi bumbu makanan dilakukan Mike setelah melalui serangkaian penelitian. Penelitian pertama dilakukan tahun 2011. Mereka mencoba meneliti kadar protein tertinggi pada ulat sagu. Ada tiga bagian ulat yang diteliti, kepala dan kulit, cairan hitam, serta cairan putih. Hasilnya, kadar protein tertinggi ada pada cairan putih. "Kadarnya mencapai 17 persen. Kandungan protein ini melebihi protein pada telur yang hanya 13 persen," tutur Mike.
     Pada cairan putih itu pula Mike bersama empat rekannya menganalisa kandungan lainnya hingga diperoleh data kandungan karbohidrat 3 persen, air 55 persen, lemak 12 persen, dan beberapa kandungan asam amino lainnya.
     Penelitian ini membuat mereka menjuarai Lomba Peneliti Belia Papua Tahun 2011 sekaligus meloloskannya ke lomba serupa di tingkat nasional. Pada lomba ini, kemenangan kembali mereka raih, lalu mengikuti Konferensi Internasional Peneliti Muda di Belanda.
     Menjelang konferensi, penelitian kembali dilakukan. Penelitian yang berlangsung satu bulan ini mengolah cairan putih menjadi bumbu makanan. "Kami ingin menunjukkan, ulat sagu bisa menjadi tambahan makanan hingga gizi pada makanan lebih kaya," katanya.

Rasa baru

     Hasil olahan dicampur pada nasi goreng, bakso, dan keripik. Makanan ini lalu dicoba kepada sejumlah orang, dan hasilnya lebih enak. Mike lalu mencobanya pada spageti dan roti lapis.
     "Kami akan bertanding di luar negeri yang tidak tahu bakso dan keripik. Makanya, kami coba campur dengan spageti dan roti. Ternyata hasilnya memuaskan. Ada rasa baru dari kedua makanan itu," ujarnya.
     Serangkaian penelitian dilakukan Mike dibantu empat rekan yang juga pelajar SMA di Papua, yaitu Richard Antonius Mahuze (SMAN 3 Merauke), Yulian Marco Awairaro (SMAN 1 Serui), Darius Ohee (SMAN 3 Jayapura), dan Agustina Padama (SMAN 3 Jayapura).
     Penelitian mereka dibimbing tiga pengajar Surya Institute, Tangerang, yaitu Lies Dwiarti, Lindawati, dan Yalun Arifin. Mike adalah satu dari 150 pelajar Papua yang terpilih untuk dilatih ilmu sains di Surya Institute.
     Setelah penelitian tuntas, Mike dipilih untuk membawa hasil penelitian ke Konferensi Internasional Peneliti Muda di Belanda. Ia berangkat bersama 11 pelajar lain dari sejumlah daerah di Indonesia, yang juga mengenyam pelatihan di Surya Institute.
     Presentasi penelitian ulat sagu dan produk olahannya, ditambah jawaban atas pertanyaan dari juri berlangsung 15 menit. Semua itu dipaparkan Mike dalam bahasa Inggris.
     "Sejak kelas III SD, Mike belajar bahasa Inggris. Saat SMPN 2 Sentani, dia masuk kelas bilingual sehingga fasih berbahasa Inggris," kata Alphius Toam (48), ayah Mike Toam.
     Mike pun berhasil meyakinkan ketujuh juri yang berasal dari tujuh negara, di antaranya Belanda dan Amerika Serikat. "Tidak terbayang bisa meraih penghargaan, apalagi sebelumnya saya terancam tidak bisa mengikuti lomba," kata anak pertama pasangan Alphius dan Amelia Ibo (46) ini.
   Konferensi di Belanda digelar bersamaan dengan waktu ujian nasional (UN) SMA, 16 April lalu. Pihak sekolah sempat tak mengizinkan pergi karena Mike bisa tak lulus jika tidak mengikuti UN. Izin baru ia peroleh setelah ada surat izin dari Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang menyatakan Mike bisa mengikuti ujian susulan pada 1-4 Mei di Jakarta.
     Tak terbayangkan pula penghargaan itu diraih saat Mike mempersiapkan diri menghadapi UN. "Waktu saya banyak tersita untuk mempersiapkan UN, ditambah ujian sekolah dan ujian praktik," ujarnya.
     Bagi Papua, prestasi Mike menambah daftar anak-anak Papua yang bisa berprestasi di tingkat internasional. Sebelumnya, Septinus George Saa yang juga mengenyam pendidikan di SMAN 3 Jayapura menjadi juara pertama lomba riset ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat internasional tahun 2004.
     "Jika ada peluang mengembangkan diri, anak-anak Papua bisa mencapai prestasi tinggi. Peluang itulah yang selama ini tertutup. Ini membuat Papua tertinggal dari daerah lain," kata Kepala SMAN 3 Jayapura Paulus Gandeguai.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 JUNI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar