Kamis, 14 Juni 2012

Nahkwand Sona Alhamd: Penjaga Musik Tari Tradisi Bangka


NAHKWAND SONA ALHAMD
Lahir: Bangka, 21 November 1982
Istri: Juwita Handayani
Pencapaian:
- Penata musik terbaik Festival Serumpun Sebalai, 2004, 2005, 2006
- Penata musik  tari Pencak Kedidi, dipentaskan di Belanda, 2011
- Penata musik terbaik Malam Seni Budaya Negeri Timah, 2010

Deretan tanda penghargaan dipajang di ruang tamu rumahnya di pinggiran Sungailiat, Bangka. "Pentas luar negeri saya terakhir di Pasar Malam Indonesia 2011 di Belanda. Saya membuat musik untuk tari tradisi Bangka yang dipentaskan," ujar Nahkwand Sona Alhamd.

OLEH KRIS RAZIANTO MADA

Untuk pentas di Belanda, Wanda, panggilannya, membuat karya baru sebab tari Pencak Kedidi yang dipentaskan itu nyaris punah. Kala itu hanya tersisa satu penari dan tidak ada pemusiknya sama sekali.
     "Saya meramu ulang musiknya setelah memperhatikan gerak tari dan mendengarkan penjelasan penari aslinya,"ujar Wanda, penggiat Sanggar Kite di Sungailiat.
     Karyanya juga melanglang sampai Malaysia dalam Pentas Gendang Nusantara 2001. Dalam beberapa kali Festival Serumpun Sebalai di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), ia mendapat penghargaan sebagai penata musik tari terbaik.
     Wanda juga pernah unjuk kebolehan di berbagai provinsi di luar Babel. Dari berbagai ajang itu, ia menyabet beberapa penghargaan. Semua itu. katanya, karena suka seni tradisi saja.
     Wanda juga menciptakan lagu-lagu berlirik bahasa Bangka. Dia bergiat di Sanggar Kite yang diasuh ayahnya, Baidjuri Tarz, pemusik dan pencipta lagu Bangka dan Lawang Budaya. Sedangkan Sanggar Lawang Budaya diasuhnya bersama sang istri, Juwita Handayani. 
     Di Lawang Budaya, ia mengenalkan musik dan tari tradisi kepada sekitar 100 anak asuhnya. Mereka terdiri dari murid SD dan mahasiswa. "Jangan tanya soal bayaran. Anak-anak mau rutin berlatih saja sudah membuat saya bersyukur. Saya hanya berharap seni tradisi Bangka semakin banyak digemari," ujarnya.
     Wanda mengaku tidak enak jika ditanya soal bayaran. Sanggar itu mendapat bantuan Rp 200.000 per bulan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bangka. Tentu dana sebesar itu tidak cukup untuk sekadar biaya operasional sanggar. Apalagi, jika disebut sebagai bayaran atas jerih payah Wanda dan istrinya.
     Untuk operasional, terkadang orangtua asuhnya berganti iuran. Kadang Wanda mencarikan kesempatan pentas di acara pernikahan. "Masih ada orang Bangka ingin mendengar musik tradisi di acara pernikahan. Memang belum tentu ada permintaan pentas setiap bulan. Tetapi, itu salah satu peluang pasar seni tradisi," ujarnya.

Sejak SD

     Sejak kecil, Wanda berkeinginan mendalami seni tradisi. Sejak duduk di sekolah dasar, ia sudah mengoleksi penghargaan berbagai bidang seni dari kompetisi menyanyi, deklamasi, dan berpuisi. "Waktu SMP, saya semakin intensif menekuni musik tradisi. Keluarga saya kebetulan bergiat di seni tradisi," ujarnya.
     Ayahnya, Baidjuri, mengajari Wanda memainkan aneka alat musik perkusi gendang ibu dan gendang anak, rebana, serta jimbe. Wanda juga dilatih memainkan dambus, sejenis gitar tradisional bangka. Latihan itu menjadi bekalnya di kemudian hari sebagai pemusik dan pencipta lagu daerah Bangka.
    Dengan bekal itu pula, ia terpilih menjadi anggota rombongan duta budaya Sumatera Selatan, provinsi induk Bangka, hingga tahun 2000. Ia antara lain menjadi pemain musik tradisi untuk rombongan yang pentas di Bali. "Waktu itu saya masih SMA. Namun, komunitas seni di Palembang sudah menerima saya sebagai bagian dari mereka," ujarnya.
     Komunitas seni yang didukung pemerintah setempat sebenarnya menyediakan fasilitas cukup bagi Wanda untuk berkarya di Palembang. Setidaknya, ia mendapat biaya sekolah dari hasil berbagai pentas di Palembang. Ia kerap dilibatkan dalam berbagai tari dan musik tradisi sebagai wakil Sumsel. "Di Palembang memang ada kesempatan saya menggali lebih dalam potensi sebagai pemusik tradisi," ujarnya.
     Meskipun demikian, ia akhirnya memilih kembali ke Bangka setelah terbentuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari ayahnya, Wanda tahu ada banyak tari tradisional tak dipentaskan lagi karena ketiadaan pemusik untuk mengiringinya. Ia juga mendengar tidak banyak orang mau menciptakan lagu dalam bahasa Bangka.
     "Bagi saya, itu peluang besar berkarya. Saya sudah dimodali keterampilan bermusik oleh orangtua," ujarnya.
     Sebagai pelaku seni, ia ditawari menjadi tenaga honorer di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Babel. "Saya terima itu karena berpikir sebagai pegawai dikbud akan bertugas mengurus seni saja," ujarnya.
     Sayang, perkiraan  itu sama sekali berbeda dengan kenyataan. Sebagai pegawai honorer, ia malah disibukkan dengan tugas yang sama sekali tidak berkaitan dengan seni.
     "Saya malah diminta mengantar surat atau menjemput keluarga atasan. Hampir tidak ada waktu berkreasi," ujarnya.
     Suasana itu berseberangan dengan fakta di Palembang dan harapannya saat kembali ke Bangka. Di Palembang, ia benar-benar fokus berkarya. Biaya sekolah dan biaya hidup didapat dari berbagai aktivitas seni. Sebagai anggota komunitas seni di Palembang, tugasnya memang benar-benar berkarya saja. "Saya tidak mendapatkan itu setelah pindah ke Bangka," ujarnya.
     Karena itu, ia memutuskan berhenti menjadi pegawai honorer. "Untuk mendapat penghasilan, saya menjadi pelatih tari di berbagai sekolah. Saya ingat hanya dibayar Rp 75.000 per bulan sebagai pembimbing ekstrakurikuler seni di salah satu sekolah di Sungailiat," ujarnya.

Kebebasan

     Situasi tersebut diakui berat bagi Wanda yang kala itu baru memulai rumah tangga. Namun, ia lebih memilih bertahan pada pilihan itu demi bisa terus berkreasi musik tradisi Bangka. "Secara materi memang tidak banyak bisa didapat dari pilihan ini. Tetapi, ada kepuasan batin meneruskan apa yang dulu dilakukan keluarga saya," ujarnya.
     Pilihan memprioritaskan kebebasan berkreasi dibandingkan dengan motif ekonomi berkali-kali ditempuhnya. Meski punya sanggar seni dan kenal banyak orang penting, pemerintahan maupun swasta, ia tidak mau memanfaatkannya untuk kepentingan di luar seni.
     Untuk kepentingan seni sekalipun, ia akan menolak tawaran yang dirasa menghambat kebebasan berkreasi. "Saya tidak sudi mengemis demi mendapat imbalan dengan menggadaikan kebebasan dan kualitas kreasi," ujarnya.
     Meskipun demikian, ia tetap berharap pemerintah mau lebih menghargai para pelaku seni tradisi. Mereka adalah orang-orang yang menjaga identitas daerah.
     "Kalau mau beri penghargaan, jangan berupa hadiah uang tunai yang akan habis dalam sekejap. Lebih baik beri beasiswa agar seniman bisa memperdalam ilmunya. Bisa untuk kuliah, kursus singkat, atau belajar dari daerah lain," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 14 JUNI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar