Minggu, 24 Juni 2012

Sitti Joleha Fatagar: Kader Bermodal "Seratus Juta"


SITI JOLEHA FATAGAR
Lahir: Kokas, Papua Barat, 22 Februari 1976
Pendidikan:
- SMPN 1 Kokas, Papua Barat
- Lulus ujian kesetaraan SMA
Pekerjaan: Kader Posyandu Desa Nenbura, Kecamatan Doreng, Kabupaten  Sikka, Nusa Tenggara Timur, sejak 1994
Penghargaan: Juara Ketiga Lomba Penyuluhan Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur

Di pekarangan rumah-rumah di Desa Nenbura tumbuh sayur beragam jenis. Warga desa yang termasuk Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu pun tak perlu jauh-jauh mendapatkan sayur-mayur. Mereka bisa memetiknya di pekarangan. Hijau sayur di pekarangan rumah itu tak lepas dari aksi dan kerja keras Sitti Joleha Fatagar, kader posyandu desa tersebut.

OLEH INDIRA PERMANASARI

Usaha Sitti memopulerkan kebun gizi itu tak mudah. "Selama ini masyarakat tak biasa makan beragam sayuran, selain yang mereka ambil di kebun sendiri. Ini pun biasanya jauh dan jenisnya terbatas, daun singkong dan pepaya. Tak pernah terbayang mereka menanam sayur di pekarangan," ujarnya.
     Ia lalu menyusun strategi. Ia mengajak beberapa warga lanjut usia, tetangganya, membuat lubang-lubang galian sebagai tempat sampah rumah tangga. Setelah sampah di lubang galian itu membusuk menjadi pupuk, Sitti membeli banyak benih sayur.
     "Saya ajak kader posyandu lain yang punya kebun gizi patungan membeli benih sayur. Benih-benih itu saya bagikan kepada para lansia untuk ditanam dan ternyata pohon sayur tumbuh subur," ujarnya.
     Sitti kemudian membeli sebagian sayur itu sekaligus menganjurkan mereka mengonsumsi sayur dari pekarangan masing-masing. Pasar terdekat, tempat warga membeli sayur di Desa Nenbura, harus ditempuh warga dengan ojek Rp 10.000 sekali jalan. Pasar pun hanya buka satu hari dalam seminggu.
    "Saya beli sayur itu supaya mereka tertarik dan merasa ada manfaat dari kebun gizi," ujarnya.
     Pancingan itu berhasil. Tak butuh waktu lama, tetangga lainnya membuat kebun gizi sendiri walaupun Sitti tak mesti membeli hasilnya. Mereka merasakan manfaat memasak hasil panen kebun sendiri. Pemberian makanan tambahan untuk bayi di desa itu pun dari kebun gizi.
    Jika awalnya hanya dua rumah dengan kebun gizi di pekarangan, kini ada 25 rumah. Sitti juga mengorganisasi pembuatan kebun bibit dengan bergotong royong, bergiliran dari rumah ke rumah.

Deretan masalah

     Penyadaran gizi hanya satu dari tugas Sitti sebagai  kader posyandu di daerah terpencil. Rentetan persoalan kesehatan hadir di desa yang sekitar 70 persen warganya penerima beras miskin itu. Sebagian besar warga hanya mengecap pendidikan dasar enam tahun, terutama para perempuan.
     Kekurangan gizi, kebersihan lingkungan, dan kesehatan ibu hamil dan anak menjadi pergulatan sehari-hari. Dalam sosok Sitti tampak nyata betapa kader posyandu menjadi ujung tombak dan pemimpin komunitas dalam membangun kesehatan.
     Ia bersama empat kader posyandu lain di desa itu rutin berkeliling dusun menggelar kegiatan, mulai dari menimbang bayi, memberikan sosialisasi seputar masalah kesehatan, hingga pemberian makanan anak balita.
     Dusun Hebar yang berjarak sembilan kilometer dari tempat tinggal Sitti adalah dusun terjauh. "Untuk ke Hebar, saya berjalan kaki karena tidak ada transportasi. Kalau hujan, jalannya licin dan mendaki," ujarnya.
     Selain itu, tak semua ibu juga mau ke posyandu. Sitti mesti rajin mengunjungi mereka dan bayinya ke rumah-rumah. Dalam satu bulan, biasanya tiga kali Sitti mengunjungi para ibu yang "bolos" ke posyandu atau perempuan dan anak yang bermasalah kesehatannya.
     Ia harus bekerja keras mengajak warga Desa Nenbura hidup sehat. "Kader posyandu tidak boleh bosan, harus terus memberi tahu masyarakat," ujarnya.
    Terbiasa memberikan penyuluhan, membuat Sitti melenggang ke lomba penyuluhan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menjadi juara ketiga. Saat ditanya "modalnya" sebagai kader posyandu, Sitti menjawab penuh semangat, "seratus juta alias senyum, ramah, tulus, jujur, dan tawakal."
   Honornya sebagai kader posyandu Rp 25.000 per bulan tak dapat mengganjar kerja kerasnya, apalagi menggantikan "modalnya". Uang untuk menebus ijazah sebagai bukti kelulusan mengikuti program setara SMA, yang ditempuhnya sebagai syarat pembina pendidikan anak usia dini di posyandu pun Sitti tak punya.

Pengalaman pribadi

     Sitti menjadi kader posyandu Desa Nenbura sejak tahun 1994. Saat itu, Sitti yang aslinya warga Fakfak, Papua baru menjadi warga Nenbura mengikuti sang suami, Petrus Mahin, yang berasal dari Desa Nenbura.
     Sejak itu, ia setia mengabdi sebagai kader posyandu. Terlebih setelah suaminya menjadi Kepala Desa Nenbura pada tahun 1999, ia mendapat peran tambahan sebagai "ibu desa". Ia harus menjadi panutan bagi kader lain.
     Semangat sebagai kader posyandu tak lepas dari pengalamannya sendiri. "Saya merasa perempuan sering dalam posisi lemah. Saya ingin memotivasi para ibu dan perempuan di desa," ujarnya.
     Terlebih ketika dia hampir kehilangan putra bungsunya. Ia berkisah, putranya lahir dengan berat 1 kg 4 ons atau lahir dengan berat rendah. Banyak orang berpendapat, bayi itu tak akan bertahan hidup.
     "Kulitnya seputih kain dan napasnya sempat hilang. Saya berdoa dan anak itu bernapas lagi, lalu dibawa ke rumah sakit. Selama di ruang NICU (neonatal intensive care unit), ASI saya peras dan minumkan dengan sendok. Pengetahuan tentang ASI saya dapat waktu menjadi kader posyandu. Anak itu selamat dan tumbuh sehat."
     Pengalaman itu semakin menyadarkan Sitti akan pentingnya posyandu dalam mendidik ibu. Agar para ibu melahirkan anak yang berat badannya baik, semangat memberikan ASI, dan menjaga kesehatan keluarga.
     Pada dasarnya, kesehatan dan kesejahteraan itu kuncinya di tangan ibu, termasuk melindungi anak dari kebiasaan tak sehat orang-orang di sekitarnya. Dia masih mengingat bagaimana harus bernegosiasi dengan suaminya yang perokok demi menjaga kesehatan diri dan bayinya selepas perawatan NICU.
    Seperti umumnya lelaki di Nenbura, suaminya pun perokok berat. "Waktu itu, sehari dia bisa merokok sebungkus. Itu kalau tidak ada tamu. Saya minta dia mengurangi rokok menjadi dua bungkus dalam seminggu. Uang sisa "jatah" rokok saya belikan telur dan sayur karena belum ada kebun gizi. Kami senang berat badan anak terus membaik," ujarnya.
   Sitti tahu tidak mudah mengajak seseorang hidup sehat. Pentingnya kesehatan sering baru dirasakan saat diri atau anggota keluarga terbaring sakit.
    "Kader posyandu tidak boleh bosan memotivasi dan mendorong masyarakat untuk mengubah   hidup agar lebih sehat. Kalau satu kali kita ngomong dia (warga) belum ikut, kita harus omong terus. Kita beri masyarakat 'seratus juta'," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 22 JUNI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar