Senin, 03 Januari 2011

Adang: Desa Listrik Mandiri Haurngombong

ADANG

Istri : encih Lestari (37)
Anak :
- Irham Aulia Handi (15)
- Desi Fatmawati (4)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Negeri 1 Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jabar
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjungsari, Sumedang
- Sekolah Menengah Atas Yayasan Karya Madya Tanjungsari, Sumedang
- S-1 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti, Sumedang

Kalau Listrik padam, warga Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, tenang-tenang saja. Rumah-rumah di desa itu tetap terang benderang dengan energi penerangan yang berasal dari biogas. Mereka tidak mengenal istilah byarpet, seperti kerap dikeluhkan para pelanggan listrik perusahaan negara.

OLEH DWI BAYU RADIUS

Jika di beberapa daerah lain di Jabar, seperti Pangalengan, Lembang, atau Sumedang, kondisi instalasi biogas terbengkalai, di Haurngombong tidaklah demikian. Kepala Desanya, Adang (42), malah terjun langsung untuk menangani masalah instalasi biogas milik warga.
Berkat upaya Adang, dan gotong royong generasi muda di sana, sudah banyak warga menghasilkan listrik sendiri dari kotoran sapi. Biogas adalah bagian dari energi terbarukan yang dapat dihasilkan dari limbah peternakan.
Upaya untuk menjadikan Haurngombong sebagai desa mandiri energi sudah dilakukan sejak 2003. Inovasi dilakukan karena saat itu harga minyak tanah membubung tinggi. Pada puncaknya, harga minyak tanah pada 2007 sudah mencapai Rp.8.000 per liter. "Padahal, sebelum konversi energi diterapkan, harganya hanya sekitar Rp.2.500 per liter. Sudah mahal, minyak tanah susah pula dapatnya," kata Adang.
Ketika itu, usaha untuk memenuhi kebutuhan listrik secara mandiri belum banyak dilakukan di desa-desa. Peralatan yang digunakan di Desa Haurngombong saat itu masih amat sederhana. "Penampung gas pakai plaastik dan kompornya dari kaleng bekas. Selangnya juga plastik . Ada hikmahnya juga. Dulu, banyak warga mengeluh bau kotoran sapi," katanya.. Saat ini kotoran sapi malah diperebutkan warga, bahkan stoknya kurang.
Penggunaan biogas diintensifkan melalui kerjasama dengan fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Respon Unpad sangat baik dengan memberikan dukungan teknologi biogas dan pembinaan untuk warga. Pada 2007, jumlah instalasi biogas di Desa Haurngombong sudah mencapai 60 unit.
"Saya sempat tanya, apakah bisa biogas di masukkan kedalam tabung seperti elpiji supaya ringan. Kalau pakai plastik besar sekali, tapi belum bisa," katanya.

Listik mandiri

Haurngombong pun menjadi desa binaan PLN. Desa itu kemudian menerima 10 generator yang telah dimodifikasiPLNpada 2008 dengan daya masing-masing sebesar 450 watt. Setiap generator yang menggunakan bahan bakar biogas itu bisa menghasilkan listrik untuk empat rumah.
"Di Desa Haurngombong memang ada listrik dari PLN, tetapi kalau terjadi pemadaman, warga tak terlalu repot. Meski belum tentu bisa menonton televisi, lampu tetap menyala," katanya.
Desa dengan luas 219 hektar ini berpenduduk sekitar 5.800 orang, terdiri dari 1.500 keluarga. Saat ini hampir 30 persen dari jumlah itu atau 400 keluarga sudah mampu menghasilkan listrik secara mandiri. "target saya, 1.000 keluarga bisa menghasilkan listrik sendiri. Di Desa Haurngombong masih banyak kotoran sapi yang belum dimanfaatkan," katanya.
Tidak perlu peralatan mutakhir untuk membuat instalasi biogas. Wadah gas dibuat dari plastik. Sejumlah warga sudah menggunakan wadah yang terbuat dari fiber dan penampung dari beton.
Pada 2008, Adang juga membentuk badan usaha milik desa Haurngombong yang bergerak di bidang biogas. Usaha dikelola tiga pegawai inti dan didukung 20 teknisi. Layanan usaha, antara lain, pengadaan instalasi biogas, penyediaan suku cadang, dan simpan pinjam. Usaha itu juga berfungsi sebagai sentra komunikasi biogas.
"Kami merasa seperti punya tanggung jawab sosial terhadap daerah lain yang ingin mengembangkan biogas," kata Adang.
Semanagat desa itu menerapkan penggunaan biogas membuat para teknisi biogas di Desa Haurngombong kerap dipanggil untuk berbagi ilmu. Mulai pemerintah pusat hingga sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia meminta mereka datang.
"Alhamdulillah. Berkat biogas, teknisi-teknisi kami bisa jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia," kata Adang tertawa bahagia.
Tak hanya wilayah di Jabar, seperti Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Subang, Cianjur, Sukabumi, dan Kuningan. Pemerintah daerah lain juga meminta para teknisi itu berbagi pengalaman, seperti di Semarang, Palembang, Surabaya, Yogyakarta, dan Denpasar. "Padahal jumlah teknisi terbatas. Kami sering kewalahan dengan permintaan pengiriman teknisi. Belum lagi teknisi juga harus bekerja di desa," kata Adang.

Perlu bengkel

Para teknisi juga diminta memasang instalasi biogas dan melakukan pemeliharaan. Mereka terpaksa berkeliling ke sejumlah daerah secara bergantian. Mereka yang hendak belajar dan mau datang langsung ke Desa Haurngombong, kehadirannya akan diterima dengan senang hati.
Pihak pemerintah daerah yang pernah berkunjung ke Desa Haurngombong, antara lain, dari Provinsi Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, banten, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Selain tentang biogas, usaha Desa Haurngombong juga bertujuan memberdayakan pemuda desa yang terkena pemutusan hubungan kerja dan miskin. Mereka, antara lain, bisa berperan sebagai petugas pemasangan instalasi, perbaikan, dan pemantau.
Masyarakat Desa Haurngombong yang menggunakan instalsi biogas hany dikenaiiuran Rp.7.500 per bulan. Jika instalasi rusak, warga bisa melaporkannya kepada teknisi. Jika kerusakan masih tergolong ringan dan tak memerlukan suku cadang, warga tidak dipungut biaya.
Adang bertekad mengembangkan usaha Desa Haurngombong yang kini masih berskala kecil. Karena itu, jika dapat diperoleh, bantuan permodalan akan sangat membantu.
"Kira-kira masih butuh modal Rp.400 juta, antara lain untuk pengadaan suku cadangan instalasi, pelatihan, dan perlengkapan sekretariat," tuturnya. Adang dan sejumlah warga desa juga berencana membuka bengkel kerja yang bisa membuat instalasi biogas sendiri dan menyediakan suku cadangnya.
"Jika bengkel itu bisa terwujud, kami bisa bikin usaha pemberdayaan desa. Kami juga bisa lebih tenang mengirimkan teknisi ke daerah-daerah yang membutuhkan," katanya.
Jumlah peternak sapi di Desa Haurngombong sekitar 210 orang. Adapun populasi sapi di sana sebanyak 892 ekor. Peternak yang punya banyak sapi, jumlahnya ternaknya bisa mencapai 12 ekor.
"Pegangan usaha kami sederhana saja. Selama sapi masih buang kotoran, usaha masih bisa jalan.........," ujar Adang. Dia telah membuktikan bahwa masyarakat bisa memberdayakan dirinya sendiri tanpa banyak kata-kata atau hebat di wacana.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 30 DESEMBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar