Kamis, 27 Januari 2011

Elly Krey : Memopulerkan Ukiran Biak


ELLY KREY

Lahir: Biak, 10 Desember 1951
Istri : Lince Mandobar (42)
Anak :
- Jimmy Krey (26)
- Selly Krey (alm)
- Wija Krey (22)
- Mercy Krey (17)
- Febby Krey (9)
Pendidikan : Sekolah Teknik Menengah di Biak (1964-1967)
Riwayat Pekerjaan :
- Perusahaan Daerah Irian bakti (1967-2009)
- Perajin pot bunga dan ukiran kayu (1967-sekarang)
- Ketua Perhimpunan Ojek di Manokwari (1998-sekarang)
Penghargaan : Medali Emas Tinju di Pekan Olahraga Nasional (1970)

Lahir dan besar di pelosok kampung di Biak, Papua, semangat hidup Elly Krey (59) tak pernah redup. Bermodal keahlian mengukir yang dipelajarinya sejak usia dini, banyak hal bisa dicapainya.

OLEH PONCO ANGGORO

Tak sulit menemukan karya pria yang kini tinggal di Jalan Yogyakarta, manokwari, Papua Barat, ini. Ukiran bermotif ombak laut yang terlihat dipagar yang mengitari Universitas Negeri Papua dan pagar kantor Gubernur Papua Barat adalah contohnya. Patung manusia dengan posisi tangan menopang dagu di sejumlah pilar di kantor Gubernur Papua Barat juga karyanya.
Ombak laut dan ukiran patung merupakan dua dari sekian banyak motif ukiran yang menjadi ciri khas ukiran asal Biak. Bentuk ukiran seperti itu diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat Biak.
Elly mengatakan, ukiran ombak mencerminkan keberanian orang Biak menerobos ganasnya lautan yang mengelilingi pulau-pulau di Biak. Sedangkan patung dipercaya sebagai representasi dari roh nenek moyang.
Karya Elly juga bisa dilihat pada pot-pot bunga yang ada di kator-kantor pemerintahan di Manokwari. Ukiran pot bunga bermotif ombak atau burung cendrwasih, burung khas tanah Papua, tak ayal membuat pot lebih sedap dipandang.
Elly yang lahir di Kampung Biak Barat Jauh, Biak, belajar mengukir sejak berusiatuju tahun. Dia belajar dari ayahnya, Mansianus Krey, di sela-sela waktu senggangnya saat sedang tidak melaut. "Awalnya ayah melukis dengan arang sebuah motif di atas kayu, kemudian saya yang mengukirnya," kenang Elly.
Tidak sampai satu bulan, jari-jari kecil Elly piawai mengukir kayu menjadi beragam motif khas Biak. Berselang dua tahun, atau saat usianya beranjak 10 tahun , Elly sudah bisa melukis motif, mengukir, bahkan membuat patung sendiri tanpa bantuan ayahnya.
Tak dinyana,kemampuan ini menjadi bekal berharga bagi Elly karena diusianya yang masih belia itu, ayahnya meninggal dunia. Sementara ibunya, Dina Sada, sudah meninggal saat usianya masih enam tahun.
"Sepulang sekolah saya sering membuat patung-patung kecil berukuran 15 sampai 30 sentimeter. Patung-patung ini lalu saya berikan kepada guru sebagai pengganti biaya sekolah. Beberapa kali patung itu juga saya tukar dengan buku, pakaian seragam, atau alat tulis lainnya," tuturnya.
Hal serupa dia praktikan saat Elly menempuh pendidikan di sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah teknik menengah di Kota Biak. Padahal, jika patung-patung itu dijual sekarang, harga setiap patung bisa mencapai ratusan ribu, bahkan puluhan juta. "Saat itu saya tidak pernah memikirkan dapat uang dari patung, saya hanya berpikir bagaimana caranya tetap bisa sekolah," kata Elly.
Motivasi ini pula yang mendorongnya tetap sekolah meski untuk melanjutkan ke SMP dan STM, dia harus ke Kota Biak dengan mendayung perahu sehari semalam. "Perahunya waktu itu belum bermesin," tambahnya.
Setamat STM, dia tetap lekat dengan dunia mengukir. Saat senggang, dia selalu mengukir meski kegiatan atau pekerjaannya sama tidak terkait dengan ukir-mengukir.

Dari mulut ke mulut

Setelah lulus, Elly sempat bergabung dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka. Bahkan, kakinya sempat tertembak saat bergerilya masuk keluar hutan kala itu. Tahun 1967, kehidupan Elly membaik setelah dia diterima bekerja di PD Irian Bakti, perusahaan daerah yang bergerak di bidang distribusi bahan kebutuhan pokok. Selama 43 tahun Elly bekerja di sana hinga pensiun tahun 2009.
"Saya tidak ingin motif warisan nenek moyang ini dilupakan, makanya saya terus mengukir," kata mantan petinju yang pernah memperoleh medali emas dalam ajang Pekan Olahraga Nasional 1970 ini.
Kepiawaian Elly mengukir menyebar dari mulut ke mulut sehingga dia selalu mendapat pesanan dari Jakarta dan kota besar lain di Jawa. "Lumayan bisa untuk menambah penghasilan juga," tambahnya. Setiap bulan dia rata-rata bisa mendapat pesanan 10 sampai 15 patung atau ukiran papan kayu yang dijual sesharga Rp.250.000 hingga Rp.500.000. Setelah pensiun Elly lebih berkonsentrasi mengembangkan keahliannya ini. Tidak hanya media kayu yang digunakan, dia mencoba mengukir motif-motif itu di pot bunga.
"Saya sempat melihat di televisi bagaimana orang Jawa memmbuat pot. Dari situ saya kepikiran membuat pot lalu mengukir pot tersebut, " katanya.
Elly kemudian nekat pergi ke Jakarta dengan tujuan belajar kepada perajin pot bunga. Dia menemukan perajin yang mau mengajarinya membuat pot bunga itu di bawah jembatan layang, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dua bulan lamanya dia tinggal di rumah gubuk perajin pot itu, meskipun sebenarnya ada kerabat Elly yang tingal di Jakarta.

Ajari anak-anak sekolah

Setelah "lulus' dari bawah jembatan layang, dia kembali ke Manokwari dan mulai mempraktikkannya. Elly membuat pot dari semen, lalu mengukirnya dengan beragam ukiran bermotif Biak. Usahanya tak sia-sia. Permintaan berdatangan. Setiap bulan, dia bisa mendapat pesanan 50-60 pot berdiameter 30 cm sampai 1 meter. Dari penjualan pot ini, dia bisa memperoleh penghasilan kotor Rp.25 juta atau sekitar Rp.12 juta bersih.
"Karya saya juga sering diikutsertakan dalam pameran, makanya pesanan terus meningkat," katanya. Sebagian besar pesanan datang dari kota-kota di Papua dan Papua Barat.
Tak berhenti di sana, Elly mengajak 20 anak yang terancam putus sekolah untuk membantunya. Dia buatkan rekening tabunganuntuk anak-anak itu, tempat untuk menyisihkan separuh pendapatan mereka sebagai upah kerja. "Sekalian mengajari mereka menabung," tambahnya.
Berjalan sekitar enambulan, dia kembali merekrut lagi 10 anak yang kesulitan membayar biaya sekolah. "Sampai sekarang anak-anak ini masih sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mereka bisa membiayai sekolahnya dari hasil membuat pot," katanya semringah.
Bukan tanpa tujuan Elly mengajak anak-anak muda ini. Selain ingin mewariskan keahlian mengukir dan agar budaya Papua tidak mati ditelan modernisasi, dia juga mendorong anak-anak Papua agar mau berusaha, bekerja keras, dan ulet.
"Tidak banyak anak Papua yang mau bekerja keras, berwiraswasta, apalagi mengukir pot atau membuat patung seperti ini. Mereka malu. Kebanyakan maunya kerja di kantor, menjadi pegawai negeri," ujarnya.
Sebuah ironi di tengah kayanya potensi tanah Papua.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 28 JANUARI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar