Selasa, 11 Januari 2011

Hariadi, Pengawal Perajin Patung


HARIADI

Lahir : Mojokerto, 1 Mei 1957
Istri : Liswiroh
Anak :
- Elfira Agustina
- Ervina Perwati
- Weda Nata Nara
Pendidikan :
- SDN Trowulan, Mojokerto
- STN Trowulan, Mojokerto
- STM Brawijaya, Mojokerto
Penghargaan :
- Anugerah Kebudayaan tahun 2009, kategori Pelestari dan Pengembang Warisan Budaya.
Penghargaan ini diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Juni 2009

"Rumah saya sampai empat kali didatangi polisi. Mereka menanyakan foto-foto patung dan menanyakan, adakah patung buatan saya di situ? Saya jawab ada," kata Hariadi

Oleh INGKI RINALDI

Pematung cor kuningan dan perunggu asal Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, itu bercerita saat heboh seputar temuan sejumlah arca logam koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, jawa Tengah, yang selama ini ternyata palsu. Arca aslinya raib entah kemana.
Polisi mendatangi Hariadi karena kepakarannya dalam pembuatan patung cor logam, berbahan kuningan ataupun perunggu.
"Saya bilang, ada patung bikinan saya dalam foto yang ditunjukkan itu. Tetapi saat ditanya siapa pembelinya, saya tidak tahu. Semua barang saya dibeli pedagang, lalu setelah itu tidak tahu lagi kemana,"katanya.
Menurut Hariadi, praktik pembuatan patung-patung cor logam yang dikesankan sebagai peninggalan kuno memang kerap dilakukan perajin karena adanya permintaan. Permintaan itu biasanya datang dari sejumlah kolektor di Brunei Darussalam dan Singapura.
Sejumlah perajin patung-patung tiruan, yang sebagian kerap disangka sebagai benda kuno itu, merupakan bekas murid Hariadi. Ia pun bisa mengenali patung-patung buatan siapa ssaja yang dicurigai sebagai barang palsu.

Generasi awal

Hariadi adalah generasi awal pembuatan patung cor logam di Bejijong. Ia mendapatkan ilmu patung cor logam itu dari Sabar, ayahnya.
Sabar adalah juru kunci Museum Trowulan (1949-1965) yang seskarang bernama Pusat Informasi Majapahit. Sabar merupakan asisten Maclaine Pont, yang bersama Bupati Mojokerto RAA Kromodjojo Adinegoro mendirikan Museum Trowulan pada tahun 1924.
"Pak Sabar belajar car membuat patung dari Pont. Waktu itu Pont sedang membikin patung Yesus, dan ayah saya (Sabar) menjadi pendampingnya. Saat itu Pont menyarankan agar bapak lebih baik membuat patung," cerita Hariadi.
Dari titik itulah Sabar memulai membuat patung yang kemudian diikuti sejumlah kerabatnya. Pada tahun 1972 baru sekitar lima orang-semuanya keluarga Sabar- yang memiliki kemampuan mematung.
Pada tahun 1984, jumlah itu bertambah menjadi 87 perajin. Sekarang, tidak kurang dari 196 lokasi pembuatan patung cor logam di desa itu.
"Tetapi dari jumlah tersebut, yang merupakan perajin asli dan bisa membikin model (patung) hanya 20 orang. Sisanya itu ada yang perajin, ada juga pengepul," tutur Hariadi.

Meniru relief

Hariadi yang merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara ini belajar membuat patung dari ayahnya sejak tahun 1970-an. Mulanya dia belajar teknik dasar mengukir bentuk-bentuk sederhana di bahan parafin, yang selanjutnya dibungkus adonan tanah liat, guna menghasilkan cetakan cor logam.
Patung-patung yang tidak memerlukan detil tinggi seperti bentuk-bentuk hewan, mengawali kepakaran Hariadi. Pada masa itu, ia bahkan sudah memenuhi biaya sekolah dan jajannya dari keterampilan membuat patung.
"Sampai tahun 1981 itulah yang saya kerjakan. Setelah itu saya baru belajar membuat patung-patung yang sesuai dengan peninggalan di museum," kata Hariadi.
Mengambil model-model patung dari relief peninggalan Kerajaan Majapahit, Hariadi baru merasa puas dan mandiri pada 1987. Ia terpaksa memendam keinginannya untuk kuliah pada jurusan seni rupa ASRI Yogyakarta karena ketiadaan biaya.
Keputusannya untuk mandiri dan serius menggeluti pekerjaan sebagai pematung cor logam juga disebabkan penolakan ketika Hariadi hendak melamar di Museum Trowulan.
Profesi sebagai guru SD di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, juga dia rasakan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan panggilan hatinya.
Selain itu, keputusan Hariadi untuk tekun pada pembuatan patung cor logam juga dipengaruhi pameran tunggalnya pada 1984 di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran itu membuat namanya dikenal sebagai maestro pembuatan patung cor logam.
Pasalnya, pada era sebelum itu, banyak ditemukan patung-patung cor logam baru yang di klaim sebagai benda cagar budaya. Salah satu pembuktian kepakaran hariadi ialah saat ia diminta datang ke rumah seorang kolektor seni di Solo yang meyakini seluruh koleksinya adalah benda-benda peninggalan Kerajaan Majapahit.
"Ini peninggalan Majapahit, saya beli semua," kata Hariadi menirukan omongan kolektor tersebut.
Hariadi lalu membuka mata kolektor itu dan memastikan bahwa benda-benda koleksinya adalah patung cor logam buatan masa kini yang dikesankan sebagai benda-benda kuno. Cara mengesankan patung baru sebagai benda kuno itu mudah saja, yakni denganmenambahkan larutan garam, HCL, dan urea disekujur patung yang dibungkus kain untuk selanjutnya dikubur dalam tanah hingga lima bulan lamanya. Setelah itu, ketika digali benda itu akan muncul sebagai "patung kuno".
"Sejak saat itu orderan yang datang pada saya banyak sekali," ujarnya.
Pada saat bersamaan ia juga menjadi "musuh bersama" kalangan pedagang yang menjual patung-patung buatan baru, tetapi diberi pengakuan sebagai benda-benda cagar budaya.

Tangan dan bibir

Karya Hariadi dipasang di Darwin, Australia, berupa sebuah patung Garuda dan patung Yesus di sebuah gereja di Singapura. Selain itu, ada pula patung ikan pesut buatannya di Samarinda, Kalimantan Timur; patung berbentuk lidah api di Jayapura, Papua; serta sejumlah patung dan logo beberapa daerah kabupaten/kota di Indonesia yang juga karyanya.
Harga patung karyanya bervariasi, tergantung ukuran dan kerumitan pengerjaannya. Sebuah patung Budha setinggi ssekitar 50 sentimeter misalnya, dihargai Rp.3 jutaan.
Menurutnya, membedakan patung-patung kuno dengan yang baru sesungguhnya mudah saja. "Patung-patung kuno yang berasal dari Kerajaan Majapahit dikerjakan dengan detail sangat tinggi," katanya.
Untuk bagian yang paling mudah diamati, Hariadi menyebutkan pada tangan dan bibir dari sebuah patung. Selain bagian punggung tangan yang simetris dan halus, telapak tangan biasanya dikerjakan dengan sangat detail hingga menampilkan pola guratan garis-garis tangan.
Hariadi mengakui, hingga saat ini dia sendiri belum bisa menemukan rahasia teknis di balik detail mengagumkan patung-patung cor logam dari zaman Kerajaan Majapahit itu.
"Teknik pembakaran dan teknik pembalutannya belum berhasil saya temukan," ujar Hariadi.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 3 DESEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar