Minggu, 23 Januari 2011

Kegigihan Dokter di Lembaga Pemasyarakatan


DATA DIRI

Nama : dr anak Agung Gede Hartawan
Lahir : Tabanan, Bali, 4 Mei 1967
Istri : Gusti Ayu Ketut Puspawati (39)
Anak :
- Anak Agung Sagung Istri Ristanti (13)
- Anak Agung Sagung Putri Nidyasari (7)
- Anak Agung Ngurah Bagus Danu Artha Wijaya (1,5)
Pendidikan :
- SD Negeri 1 Kerambitan, Tabanan,Bali
- SMP Negeri 1 Krambitan, Tabanan, Bali
- SMA Negeri 1 Tabanan, Bali
- Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Pekerjaan :
- PTT Puskesmas Susut I, 1994-1996
- Kepala Klinik Lembaga Pemasyarakatan IIA Denpasar, 1997-sekarang
- Ketua Persatuan Dokter Peduli HIV/AIDS Indonesia untuk Bali, mulai 2008
Pengalaman lain di antaranya :
- Beberapakali dikirim ke luar negeri untuk berbagi dan menimba pengalaman dalam
pengelolaan kesehatan bagi narapidana, diantaranya ke Sydney, Australia (2001),
New South Wales, Australia (2003), Iran (2004), dan Toronto, Kanada (2006)

Sebelas tahun sudah dokter Anak Agung Gede Hartawan mengabdi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar, Kerobokan, kabupaten Badung, Bali. Selama itu pula hampir 70 persen waktu dia gunakan untuk memenuhi kewajiban menjadikan narapidana lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

Oleh AYU SULISTYOWATI

" Mereka juga manusia dan kesehatan menjadi hak mereka, meski banyak orang menganggap mereka 'sampah' masyarakat" kata Hartawan, panggilannya.
Di kalangan narapidana, ANak Agung Gede Hartawan lebih populer disebut sebagai Pak Dokter Lapas. Pria kelahiran Tabanan, 41 tahun, itu, meskipun berkumis, tetapi murah senyum dan terkesan ramah. Tetapi, jangan salah, dia tidak segan-segan untuk marah, terutama jika bertemu narapidana yang malas dan tidak tertib pada kesehatan.
Dalam kesehariannya, bapak tiga anak ini sederhana dalam penampilan. Hartawan juga berseragam ala petugas keamanan. Namun, hampir semua narapidana, khususnya yang tersangkut kasus narkoba mengenal dan menghormati dia.
Bila bertemu dengannya, bisa dikatakan semua napi bakal menyapa Hartawan. Ini bisa dimaklumi karena bisa dikatakan berkat kegigihan dialah, kondisi kesehatan para napi itu menjadi lebih diperhatikan.
Dia juga "berjuang keras" agar napi narkoba mendapatkan sel tersendiri. Ini dia lakukan agar mereka bisa mendapatkan pengobatan, dan kesehatan penghuni LP pada umumnya relatif lebih terjaga.

Kucing-kucingan

Tahun 1997, sejak Hartawan diterima dan berdinas sebagai dokter di klinik LP yang dulu bernama Kerobokan itu, ratusan napi masih bercampur aduk. Ia mengaku sempat kewalahan ketika ada rombongan penyukuh kesehatan mengenai HIV/AIDS datang ke LP.
"Saya bersama seorang asisten sekitar setngah jam selalu kucing-kucingan dengan napi narkoba hanya agar mereka mau diajak mendengarkan penyuluhan. Dari sekitar seratus orang napi, kami hanya mampu mengajak sekitar 20 orang. Saat itu memang menjadi masa-masa gila," tuturnya.
Oleh karena kesal harus kucing-kucingan setiap kali hendak melakukan penyuluhan keseehatan. Hartawan lalu mengusulkan kepada Kepala LP agar dibolehkan mengumpulkan para napi kasus narkoba dalam satu sel tersendiri. Ini dimulainya tahun 2000. Alasannya , pengkhususan ini mempermudah penyembuhan dan pengawasan bagi mereka yang masih rentan dari kecanduan narkoba.
Usulnya itu ditolak karena tidak ada aturan tentang pemisahan napi tersebut, Tetapi, ia tidak patah semangat. Setiap berganti pejabat, Hartawan kembalimengusulkan keinginannya itu.
"Saya hanya berpegang pada alasan kesehatan dan kewajiban bagi kita, khususnya petugas yang berada di dalam LP, untuk membuat para napi lebih baik dibanding sebelum mereka berada di penjara," katanya.
Keinginan Hartawan akhirnya mendapatkan jawaban. tahun 2002 napi narkoba mendapatkan sel tersendiri meski hanya satu ruangan berkapasitas tak lebih dari 50 orang. "Itu sudah lumayan," katanya. Maklum, hingga sekarang dari sekitar 800 napi, skitar 60 persen adalah pecandu narkoba.
Langkah ide pemisahan sel napi narkoba ini pun diacungi jempol oleh Departemen Hukum dan HAM. Idenya juga dinilai bisa menjadi pelopor bagi lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dalam pemisahan sel para napi narkoba ini.

Mewujudkan perubahan

Hartawan bercerita, bekerja sebagai kepala klinik di LP tak pernah terbayangkan sebelumya. Namun, begitu tugas diterima, ia berusaha memberikan yang terbaik, termasuk berusaha mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik.
Hartawan memberi perhatian khususnya kepada napi dengan kasus narkoba sebab mereka termasuk individu yang relatif rentan tertular HIV/AIDS.
Dengan dana terbatas daribantuan teman-teman, dia juga merintis kampanye bahaya HIV/AIDS, terutama bagi pecandu narkoba. Bersama teman-teman dari Kelompok Kerja (Pokja) Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah Bali, Hartawan menggiatkan kelompok-kelompok napi untuk bersosialisasi.
"Ini memang tidak mudah. Belum lagi istri saya juga uring-uringan karena saya jarang bersama keluarga di rumah. Saya bisa menghabiskan waktu seharian di klinik. Dalam pikiran saya hanya satu, ini demi kemajuan dan kemanusiaan. Soal dana, pasti ada yang membantu jika kita mencari," katanya.

Keluarga petani

Lahir dari keluarga petani di Tabanan, Hartawan belajar bertahan hidup dan saling membantu dalam kesusahan. Ia dan keluarga relatif mengandalkan hidup dari gaji. Praktik dokter umum yang dibukanya di rumah dinas sering ditinggalkan karenanapi yang sakau atau sakit lebih memerlukan bantuan. Sementara pasien di rumah bisa pindah kedokter lain.
Tahun 2005, kondisi klinik di LP lebih baik. Ia meminta bantuan beberapa napi mengecat dan membongkarlantai. Dari sisi pelayanan, klinik pun mendapat kepercayaan menyediakan layanan terapi metadon bagi pecandu narkoba lewat jarum suntik.
Dua tahun berjalan, ia berpikir untuk membuat 20 napi dengan terapi metadon agar tak jenuh dengan kegiatan rutin minum ramuan substitusi dari jarum suntik dengan mengalihkan perhatian ke kegiatan kesenian.
Hartawan meminta mereka membuat grup tek-tekan, sebutan untuk musik dari bambu (kentungan) yang dipukul beraturan hingga menghasilkan suara harmonis. Seiring berjalannya waktu, mereka pun mahir memukul kentungan dengan nada-nada yang enak didengar.
Namun, pada penampilan perdana di depan umum, mereka tak mau wajah aslinya tampak. "Kami terpaksa keluar uang untuk membelikan topeng sebagai penutup wajah agar mereka tak malu," ceritanya tentang grup tek-tekan yang kini tak lagi bertopeng.
Hartawan mengaku bangga dengan pencapaian berkesenian para napi. "Dengan tek-tekan, mereka tak hanya mendapat pengalaman baru dalam berkesenian, tetapi juga belajar bekerjasama dan tumbuh rasa kebersamaannya," katanya.
Bagaimanapun, tambah Hartawan, semua itu bisa terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. "Saya tidak memiliki apapun untuk membalas semua bantuan yang telah diberikan. Saya hanya bisa berdoa bagi mereka agar Tuhan selalu memberkati mereka," ucapnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 30 DESEMBER 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar