Selasa, 11 Januari 2011

Kortanius Sabeleake: Memandirikan Korban Tsunami


KORTANIUS SABELEAKE

Lahir : Tateburuk, Mentawai, 6 Januari 1966
Istri : Imer Ajaria Sapalakai
Anak : Gora Sabeleake, Sopit Sabeleake, Karoni Sabeleake
Pendidikan :
- SD Saumanganya, Mentawai
- SMP Sikakap, Mentawai
- Sekolah Pembangunan Pertanian Payakumbuh, Sumatera Barat
- Fakultas Pertanian Universitas Taman Siswa Padang
Pengalaman :
- Yayasan Laggai Simaeruk
- Yayasan Suku Mentawai
- Guru SPP-Padang
- Staf PPL Dinas Peternakan Provinsi Sumbar
- Direktur Yayasan Citra Mandiri, Mentawai
- Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai 2004-2009
- Petani

"Kortanius Sabeleake adalah inspirator kemandirian korban bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat akhir Oktober 2010. Bersama sejumlah relawan Posko Lumbung Derma, Kortanius membangkitkan kepercayaan diri korban tsunami di dua dusun dari puluhan dusun terdampak. Mereka bangkit membangun kembali dusun mereka yang luluh lantak.

OLEH INGKI RINALDI

Dusun Tumalei, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara di Pulau Pagai Utara dan Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan di Pulau Pagai Selatan adalah dusun-dusun yang dipilih untuk dibangun kembali secara mandiri. Alasan Kortanius, karena kedua dusun itu merupakan yang terjauh dan relatif sulit dijangkau serta terdampak paling parah.
"Prinsipnya dasarnya, dua lokasi itu merupakan titik terjauh yang tidak diperhatikan pemerintah, sebab dusun-dusun yang dekat saja reltif tidak mendapat perhatian," kata Kortanius. Para relawan Posko Lumbung Derma menggunakan metode partisipatif dengan peran hanya sebagai fasilitator yang membantu, tanpa menggurui.
Selama lebih dari sebulan sejak tsunami menghantam, Kortanius bolak-balik menghadapi ganasnya badai untuk mendistribusikan bantuan ke sejumlah dusun. Dia membangkitkan kepercayaan diri wwarga di dua dusun itu agar membangun kembali kampung mereka. "Badai di laut itu tidak akan membunuh kita asalkan kita bisa berenang. Tidak seperti jika dihantam kayu," katanya.
Semangat menolong yang membuatnya lupa makan minum itu bertambah ketika dia akhirnya sampai di Dusun Maonai, Rabu (27/10/2010), yang luluh lantak. Sebanyak 39 orang dari 172 warga desa itu tewas. Selama setengah jam pertama, ia hanya menemukan pandangan kosong seorang korban yang terus-terusan menyalahkan diri sendiri, karena tidak mampu menyelamatkan istri dan anak-anaknya.
"Setelah setengah jam, baru dia bereaksi dan memeluk saya. Saya katakan, saat ini sudah selesai dan mereka yang meninggal sudah jadi urusan Tuhan. Sekarang bagaimana tanggung jawab kita yang masih hidup," ujar Kortanius.
Beberapa hari kemudian, dia bersama warga mencari lokasi permukiman baru di dataran yang lebih tinggi. Untuk membangkitkan semangat kerja, sejumlah relawan mesti menggunakan trik, misalnya untuk membuat tempat pendaratan helikopter.
"Semua warga ragu dan tidak percaya bahwa mereka bisa membangun sendiri, selama ini mereka berpikir hanya pemerintah yang bisa melakukan pembangunan," kata Kortanius yang bersama relawan dari Posko Lumbung Derma terus mendampingi.
Sejumlah warga di Dusun Tumalei, akhir Desember lalu, mengatakan mereka sepakat menyerahkan lahan dan tanaman di atasnya untuk permukiman baru. Kepala Dusun Tumalei, Albinus Saogo (43) menyatakan peran Kortanius relatif besar dalam menggugah kesadaran warga untuk mandiri.
Warga di dusun itu bekerja sukarela untuk membangun kembali kampung mereka. "Pekerjaan di perkampungan itu dibagi habis kepada seluruh warga," kata koordinator pembangunan hunian tetap di Dusun Tumalei, Reigen Sidarius Sakoikoi. Setiap hari Senin hingga Jumat, mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 semua warga bergotong royong membangun perkampungan.
"Hari Sabtu kesempatan warga mencari tambahan penghasilan untuk keperluan makan keluarga, dan hari Minggu untuk ibadah," kata Reigen. Seluruh bahan kebutuhan untuk pembangunan rumah seperti kayu diambilkan dari lahan milik warga.

Banyak tantangan

Tantangan terus dihadapi Kortanius ketika mendampingi warga selama proses itu. Mulai dari ketidakpercayaan warga, hasutan, penolakan, hingga tidak sinkronnya pembangunan mandiri oleh korban bencana itu dengan pemerintah.
Pemerintah telah menetapkan sejumlah titik pembangunan hunian sementara bagi ribuan korban tsunami. Lokasinya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah di wialayah yang relatif jauh dari permukiman lama.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana menetapkan jumlah hunian sementara sebanyak 1.632 unit dengan biaya pembangunan Rp.24 juta per unit. Lokasi-lokasi pembangunan hunian sementara itu akan berada di sejumlah dusun di Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno selalu mengatakan, korban tsunami yang sebelumnya tinggal terpisah disejumlah dusun harus di satukan permukimannya. Alasannya, penyatuan itu guna mendekatkan pelayanan pemerintah, seperti sekolah, puskesmas, dan sebagainya, termasuk pembangunan layanan telekomunikasi.
Kortanius tidak bisa menerima logika itu. Menurut dia, masyarakat Mentawai memiliki kekhususan karena tinggal di kepulauan. Kewajiban pemerintah melayani mereka, bukan sebaliknya. "Saya pikir, masyarakat bisa merencanakan masa depan mereka sendiri. Kita tidak bisa mendeklarasikan soal masa depan masyarakat," katanya.
Tantangan juga sempat datang dari warga. Tiga orang operator mesin pemotong kayu sempat mundur karena termakan hasutan, bahwa pembangunan di dusun dijatah uang yang banyak. Tetapi, akhirnya mereka bekerja kembali setelah melihat hampir semua warga ikut bergotong royong.
"Kalau dengan pola proyek, saya tidak mau, karena pasti semua orang akan menuntut bagian. Kami tumbuhkan gotong royong dan kami ikut di dalamnya sebagai bentuk keprihatinan," ujar Kortanius.
Menurut dia, apa yang dilakukannya bersama relawan Posko Lumbung Derma sesungguhnya relatif mudah, murah, dan bisa dilakukan oleh siapapun. Apalagi , negara memiliki kewajiban untuk membebaskan warganya dari masalah. " Karena kita sama-sama ingin masyarakat sejahtera dan keluar dari persoalan," kata bapak tiga anak itu.
Ia membayangkan, negara (pemerintah) dan sejumlah organisasi kemasyarakatan bisa duduk bersama dan berdiskusi secara terbuka mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
"Saya bayangkan, jika itu terjadi, alangkah indahnya hidup bernegara ini, ujar Kortanius.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 12 JANUARI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar